Di masa kecil saya, dulu, di Madura, mudah ditemukan gentong berisi air minum yang diletakkan di pinggir jalan. Biasanya, gentong ini ditempatkan di depan rumah. Pejalan kaki yang melintas dapat minum dari gentong ini secara langsung karena juga disediakan gayung (umumnya dari batok kelapa). Air tersebut adalah air minum cuma-cuma untuk siapa pun yang haus dan kebetulan lewat di sana.
Lambat laun, gentong seperti ini tidak tampak lagi. Hanya beberapa kali saya sempat melihatnya. Salah satunya, yang terakhir saya lihat, berada di depan rumah Haji Jirman, di Larangan Tokol, Pamekasan. Bedanya, wadah air berupa ember plastik, bukan gentong tanah liat. Saya tidak tahu, entah masih ada atau tidak orang yang minum dari ember itu mengingat Haji Jirman juga pemilik toko kelontong yang menjual air minum dalam kemasan (AMDK).
Yang tersisa dari kenyataan ini adalah “pelajaran berbagi”, bahwa berbagi bagi siapa pun itu baik dan tidak perlu kita kenal lebih dulu. Bukan soal hanya karena air yang dapat diperoleh secara cuma-cuma itu yang dibagi, tetapi yang patut dipikirkan adalah untuk apa warisan leluhur ini masih dan harus dipertahankan. Nilai-nilai kemanusian yang ada di sana sangatlah tinggi meskipun secara materi tentu tidak seberapa.
Dalam walimah, resepsi, selamatan, atau kegiatan apa pun, nyaris semua hidangan dan suguhan disisipi air minum dalam kemasan. Jelas, maksud dari semua ini adalah nilai praktisnya karena tuan rumah tidak perlu repot harus mencuci gelas dan tidak perlu khawatir ia pecah atau hilang. Namun, yang tidak dipikirkan, apakah kebiasan ini merupakan kebiasan baik bagi alam? Apakah leluhur kita pernah mengajari membuat sampah kelas berat (sampah plastik) untuk sesuatu yang sangat sepele (minum air)? Kiranya, tidak perlu dijelaskan di sini perihal berapa puluh/ratus tahun tanah mampu mengurai sampah plastik yang dibuang sembarangan dan ditinggalakan oleh manusia hanya demi seteguk air untuk mengobati rasa hausnya.
Kita melakukan hal-hal demikian itu karena kekaprahan, karena banyaknya orang melakukan, terlepas itu benar atau salah. Awalnya, ia dianggap anomali, lama-lama menjadi biasa. Apa pasal jadi begitu? Hilangnya kebiasaan berpikir untuk semua tindakan yang kita lakukan sebab ia dianggap remeh dan tidak berdampak langsung bagi kehidupan pribadi manusia. ‘
Bukan hanya karena takjub pada begitu besarnya gugusan bintang, bima sakti, pleades, cluster, dan planet-planet saja kita harus berpikir, bahkan untuk minum air pun semestinya kita juga berpikir.
6 komentar:
Di rumah saya sangat jarang ada AMDK yang biasanya disuguhkan pada tamu atau diminum sendiri. Bukan karena pertimbangan lingkungan hidup, tetapi karena tidak adanya APBD.
Ohya, saya sudah terbiasa melakukan perjalanan dengan membawa air minum isi ulang dari rumah. Sebisa mungkin selama perjalanan tidak menghabisakan biaya banyak hanya untuk persoalan minum :D
komentar Anda sangat senang dan lantas, Bi Zyadah
saya sudh ngk kebagian zaman gentong di depan rumah, kata simbok si gtu gan, dulu banyak gentong di dpn rumah bwt minum org lwt, kemudian brganti kendi dan akhrnya punah sampe skrg
====================================
Pesan Kubah Masjid Murah Madura - stainless steel/enamel/panel harga murah hanya ada di, Mahkota Kubah dot net
@Kubah: semoga cerita ini dapat membayangkan zaman itu
Dan sepertinya AMDK sudah menjadi "syarat" wajib jika kita ingin mengadakan suatu selametan atau sejenisnya. he he he
iya, betul begitu sekarang
Posting Komentar