Saya masih ingat, dulu sewaktu saya masih muda, ketika
hendak kembali ke pondok atau ketika sudah remaja, manakala saya akan kembali ke
kampus dari libur panjang, sering kali—jika tidak bisa dibilang pasti—saya
pergi dengan membawa kardus. Isinya adalah barang bawaan yang kurang layak
masuk ke ransel, misalnya beras atau gula. Kardus tersebut umumnya seukuran 8”
x 10” atau lebih kecil, semacam kardus bungkus
air kemasan atau mi instan.
model oleh: saya (M. Faizi); foto oleh: Ahmad Faisal Imron |
Melihat kenyataan, saya lantas berpikir bahwa masyarakat
Madura (atau mana pun) yang percaya pada filosofi ‘oleh-oleh’, cenderung akan membawa
oleh-oleh dari rumahnya dengan pengutamaan jenis buah tangan yang tidak ada
atau jarang ditemukan di tempat tujuan. Akan tetapi, pada praktiknya, kriteria
oleh-oleh yang demikian itu sudah susah sekali dipegang karena banyak faktor,
salah satunya adalah ‘globalisasi’ seiring makin ‘sempitnya dunia’: Dodol Garut
dengan mudah diperoleh di Madura sebagaimana Jenang Kudus pun dapat ditemukan
di mana-mana. Maka, filosofi yang terus bertahan sehingga oleh-oleh itu selalu
ada dan selalu dibawa adalah karena oleh-oleh itu disyaratkan menempuh
perjalanan panjang. Contoh: orang Madura tetap membawa oleh-oleh beras dan gula,
misalnya, walaupun di saat mengunjungi sanak saudaranya yang tinggal di Jatiroto, yakni tempat
pabrik gula terbesar di Indonesia itu berada .
(Kembali ke kardus…)
Dari gambaran ini, dapat dimengerti bahwa oleh-oleh yang dibawa di dalam kardus oleh orang-orang Madura itu biasanya cenderung berupa ‘barang kasar’, seperti buah kelapa, dll, dan telah menempuh perjalanan jauh, bukan sekadar barang yang akan diberikan kepada tuan rumah atau sanak yang hendak dikunjungi atau keluarga yang menunggu di rumah namun dibeli di dekat tujuan. Buktinya, sering saya jumpai orang yang membawa ayam dari Madura ke Jember sebagai oleh-oleh, padahal… masa’ di Jember tidak ada ayam? Filosofinya: ayam Jember akan berbeda dengan ayam Madura meskipun ras-nya sama, sebab ayam Madura yang dibawa ke Jember sudah pengalaman naik AKAS. Intinya: jarak dan perjalanan juga menentukan nilai oleh-oleh sebagai buah tangan.
4 komentar:
Selalu suka baca tulisan Ra Faizi. Ini juga hal sederhana yang sering kutemukan di Bandara, bedanya ngga berani kusapa dg bahasa Madura.
Jadi beneran, waktu ke Jerman, ketemu orang Madura yg bawa kardus? Hahaha
@wahyu Alam: hahaha, tidak, saya tidak bawa kardus
Dan kardus yang naik bis itu akan makin banyak jumlahnya saat musim mudik dan balik Lebaran. Sebagaimana kaleng Khong Guan yang isinya berubah menjadi jagung goreng atau kripik singkong, kardus mi instan atau kardus air mineral itu isinya menyalahi tulisan yang tertera. Bisa gula/kopi, atau juga kembang turi. Hehe...
cerita kondektur DAMRI, katanya kalau lebaran bisa oleng itu bis
Posting Komentar