“Mangganya
sekilo, berapa, Pak?”
“Duabelas ribu,
Bu.”
“Mahal banget,
kayak di supermarket jadinya. Saya pergi ke sini kan cari mangga yang sama
dengan yang di super market tapi harganya yang lebih murah, Pak. Masa harganya
sama dengan yang di supermarket, sih! Huh!”
“Tapi, ini
mangga asli, Bu, asli Probolinggo, ibukotanya mangga.”
“Lha, iya, Pak.
Tapi, kok mahal
banget.”
Karena si bapak yang belakangan diketahui bernama Nidin itu terdiam,
seperti kena skak-mat begitu, maka
giliran ibu muda ini mengambil sebuah, menimang-nimang,
menimbang-nimbang, membolak-balik seperti petugas perum pegadaian memeriksa
keaslian emas. Teliti sekali tampaknya si ibu ini, sampai-sampai Nidin jadi keki.
“Bisa 8 ribu,
Pak? Saya mau ambil 5 kilo kalau bisa.”
“Belum bisa, Bu.
Sudah deh, saya turunkan seribu, jadi 11 ribu per kilogram.”
“Masih
kemahalan, Pak. Bagaimana kalau 9 ribu?”
“Wah, tetap gak
nutut, Bu. Harga segitu saja masih belum nutup sama biaya angkutnya dari
Probolinggo sana.”
Si ibu ini tidak
menawar lagi, tapi juga tidak pergi. Ia mengulang aksi seperti tadi:
menimang-nimang, menimbang-nimbang, dan tampaknya tetap tidak jadi beli.
“Lagi pula,
salah Bapak, sih, jualan mangga sampe ke Bekasi, kan mahal di ongkos. Kenapa
tidak jualan di Probolinggo sana saja, Pak?”
“Takut saya, Bu,
diburu orang. Jadi, saya jualan mangga sampe Bekasi ini juga karena melarikan
diri, kok.”
“Hah? Serius?
Apa kasusnya, Pak?” tanya si Ibu mulai pasang tampang kecut.
“Pembunuhan!”
“Wah, bapak ini,
kok, serem, sih. Apa pasalnya, Pak, kok sampe membunuh?”
Bapak itu lalu
diam, menunduk. Ia memperbaiki posisi mangga-mangga dagangannya tersebut agar kembali menarik dilihat calon pembeli
karena tadi sudah diobrak-abrik sama si ibu muda.
“Mmm, nganu, Bu.
Saya pernah membunuh calon pembeli yang tidak jadi beli, yang cuma nawar-nawar melulu.
Akhirnya, karena saya sebel, saya bunuh saja dia biar tidak kelamaan ngoceh.”
Mata ibu muda
mindzalik. Ia membuka tas, mengeluarkan beberapa lembar uang, dan membeli 5
kilogram mangga tersebut dengan harga asal. Kali ini ia tidak bicara lagi,
tidak menawar pula. Kalau saja si ibu ini
sebuah ponsel, pastilah profile-nya baru saja diubah: dari ‘outdoor’ ke
‘vibrate only’.
CATATAN: jika ada kesamaan nama dan tempat, semua itu hanya dibuat-buat supaya kayak kebetulan. Tapi, jangan marahi saya.
3 komentar:
Hahahaha...
Aberrik, Nidin!
Hahahaha...
Aberrik, Nidin!
Guyonan dewasa, Mal
Posting Komentar