Sejak dulu, saya sering nunut orang yang sedang bersepeda
motor sendirian. Ada yang mau, ada yang menolak. Kalau mau tentu senang, kalau
ditolak, ya, harus sabar, tidak perlu baper. Ingat, kan, sama setiap ending
film televisi Hulk? Lakonnya pasti selalu ditolak setiap kali mencegat mobil
tumpangan.
Semasa kuliah, dulu, saya sering bawa ransel besar. Salah
satu isinya adalah helm (helm dulu itu kecil, kayak helm proyek, enggak seperti
helm SNI yang gede seperti zaman sekarang). Malah kadang enggak ada buku di
ransel itu. Kalau dapat rezeki tumpangan ke jalan besar, saya akan segera memasangnya.
Ah, naik sepeda motor itu ternyata tidak perlu beli motor. Modal helm dan
sedikit pede ternyata juga bisa.
Terakhir saya lakukan nunut orang itu di Kamal, tahun lalu.
Kata kuncinya adalah “ikut, Mas/Pak, sampai depan!”. Rupanya, frase “sampai
depan” ini jauh lebih efektif daripada satu kata “ikut!” saja. Frase “sampai
depan” menandakan kita hanya mau nunut tapi tidak jauh, tidak sampai melintasi
hutan-hutan yang mungkin akan membuat seseorang itu berpikiran bahwa kita ini
bukan orang baik-baik.
Tanggal 30 Oktober lalu, kejadian seperti itu saya alami
lagi. Saat itu, kami terjebak antrian panjang di Blega karena perbaikan Jembatan Sempar yang belum kelar. Antriannya sampai ke SPBU.
Saya langsung turun dan melihat-lihat. Mobil bergerak pelan, tapi masih lebih
cepat langkah saya. Saya pesan kepada Aploh, sepupu yang menjadi teman duduk
saya di jok depan mikrobis ELF yang kami sewa, "Ploh, Nanti aku naik dari
jembatan."
Perbaikan jembatan secara bersamaan di beberapa titik jalur
selatan Madura (dan hanya satu titik di jalur utara) membuat jarak dari rumah
saya di Sumenep seakan semakin jauh ke Surabaya. Malam itu, kami pergi secara rombongan menuju Bandara Juanda. Ada 65 orang semuanya,
diangkut dengan bis ¾ (medium), 1 Isuzu ELF panjang, dan beberapa mobil.
Penerbangan pukul 6 pagi. Kata kunci dari Hassan selaku kordinator: harus
subuhan di masjid bandara.
Sembari melihat arus yang tersendat, saya pindah ke sisi
utara, mengambil kamera, dan mulai mengintai mobil-mobil yang akan menyerobot
dari arah timur. Saya ingin tahu teknik melanggar ala mereka serta bagaimana cara
mereka bermanis muka jika nanti kres dengan mobil dari arah depan, dan
bagaimana pula trik dan tips ngeles dengan cara masuk kembali ke barisan atau
menyingkir ke bahu jalan. Itu inti mengapa saya turun dari kabin ELF.
Tak terasa, saya melangkah lumayan jauh, hingga di PLN Blega.
Arus masih tertahan. Lanjut lagi, saya melangkah sampai persis di jembatan.
Kemudian, dengan santainya, saya duduk di gardu, bersama beberapa orang yang
tampaknya memang haus hiburan, yaitu orang-orang yang menikmati kemacetan
sebagai tontonan.
Ada yang bergerak-gerak. Saat merogoh tas, eh, ada
panggilan, dan sudah beberapa kali. Ternyata, suara panggilan tidak terdengar
dan getar vibrator HP tidak terasa. Agak berisik mungkin sebabnya.
Saat saya telepon balik, ternyata mobil rombongan sudah ada
di Indomaret, jauh agak ke selatan, sudah mendekati jembatan yang dekat pasar.
"Mana?"
“Masih di jembatan.”
“Wah, kami menunggu dari tadi, hampir saja kami tinggal.” [1]
“Oh, tunggu...”
Saya agak panik. Kalau jalan kaki, ya, lumayan jauh dan
pasti banyak mengulur waktu, kalau ikut angkutan, pasti enggak ada karena kala itu
tengah malam, kalau cari ojek, enggak rasional, ojeknya belum tentu ada dan belum
tentu mau karena jarakya terlalu dekat.
Kebetulan, ada seorang bapak-bapak melintas dengan motor Mio.
Kebesaran tubuhnya membuat Mio itu jadi kayak sepeda anak balita roda tiga.
"Pak, ikut sampe depan!"
Berbarengan dengan saat ia menoleh, saya langsung duduk di
sadelnya. Susah juga kalau harus nunggu jawaban dan neko-neko. Saya kira,
ungkapan “sampe depan” itu sudah cukup ampuh untuk membuatnya luluh, menerima
saya sebagai pemboncengnya. Bapak itu jelas tidak tahu, di manakah yang
dimaksud 'depan’ itu, tapi terbukti dia mau.
Intinya begini. Adapun tips atau cara menghentikan sepeda motor yang melintas, dapat digunakan;
1. Menggubit (melambaikan tangan seperti memanggil-manggil orang di kejauhan)
2. Mengangkat tangan kanan dengan jari mengembang
3. Mengangkat tangan dengan menunjukkan jempol
Pokoknya, jangan melakukan penyetopan dengan cara menghadang di tengah jalan dengan kedua kaki mengangkan karena itu cara alay. Atau, lebih-lebih, jangan lakukan penghadangan dengan senapan atau senjata tajam karena nanti Anda akan diduga perampok.
Intinya begini. Adapun tips atau cara menghentikan sepeda motor yang melintas, dapat digunakan;
1. Menggubit (melambaikan tangan seperti memanggil-manggil orang di kejauhan)
2. Mengangkat tangan kanan dengan jari mengembang
3. Mengangkat tangan dengan menunjukkan jempol
Pokoknya, jangan melakukan penyetopan dengan cara menghadang di tengah jalan dengan kedua kaki mengangkan karena itu cara alay. Atau, lebih-lebih, jangan lakukan penghadangan dengan senapan atau senjata tajam karena nanti Anda akan diduga perampok.
Setelah mereka berhenti, segera ucapkan rapalan di atas, "Pak/Mas, mau ikut/nunut sampai depan!". Saya semakin yakin, bahwa frase “ikut sampai
depan” itu memang efektif sebagai kata kunci untuk menumpang, meskipun ambigu.
Saya sudah melakukannya beberapa kali. Kalau kita menyebut nama tempat secara
spesifik, tumpangan mungkin ogah dan boleh jadi masih akan ada debat di antara
kita. Jadi, gunakan kata “depan sana” atau “sampe depan saja” kalau Anda mau
cari tumpangan gratisan di saat terdesak. Insya Allah, orang asing pun pasti
mau, asal saja tampang Anda (yang cowok) tidak mencurigakan laksana perampok
dan orang yang mau Anda ikuti itu adalah seorang gadis remaja.
[1] Ancaman
“hampir saja mau ditinggal” ini serius akarena kami terancam hangus tiket untuk
65 penumpang Citilink di pemberangkatan pukul 06.00 dari Juanda – Balikpapan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar