Ada dua sisi "rasa memiliki": rendah dan tinggi. Adapun posisi tengahnya disebut tak punya rasa, tak peduli. Rendahnya rasa memiliki masyarakat kita umumnya tampak jika ia berkaitan dengan fasilitas publik. Contoh: lampu jalan dibiarkan terus menyala hingga siang hari padahal saklarnya nempel di tiang yang berada di tempat lalu lalang orang (belakangan sudah ada yang diotomatisasi dengan sensor cahaya). Meskipun mendapatkan manfaat dari lampu itu "seolah-olah secara gratis", masyarakat tidak punya rasa eman dan rasa memiliki karena menganggap hal itu "urusan pemerintah". Mereka hanya memiliki kebutuhan terhadap cahayanya di malam hari, sedangkan di pagi dan siangnya mereka lebih membutuhkan gratisan nasi pecel atau soto untuk sarapan.
Di sisi lainnya, "rasa memiliki" masyarakat bisa naik mendadak (seperti pengidap darah tinggi yang habis makan gulai kambing) apabila ada fasilitas publik yang dapat dimanfaatkan justru untuk kepentingan pribadi, semisal tiang lampu penerangan jalan tersebut ambruk mendadak. Biasanya, muncullah beberapa orang secara tiba-tiba, seolah-olah mereka itu keluar dari dalam tanah, lantas bergotong-royong mengangkat tiang tersebut dan menyelamatkan lampu LED-nya. Mengangkatnya tentu bukan untuk diberdirikan lagi, melainkan untuk diangkut ke rosokan, ditimbang, dijual kiloan. Adapun lampunya diselamatkan dari rebutan tangan penjarah, diamankan sendiri di rumah.
Kasus seperti ini mirip dengan nasib pot-pot bunga nan imut yang diletakkan di atas separator jalan kota yang kurang terurus. Yang dibayar untuk mengurusnya mungkin terlalu sibuk mengurus "bunga-bunga lainnya yang mekar di hatinya" sehingga tidak sempat mengurus bunga sungguhan. Akhirnya, "rasa memiliki"-nya diambil alih oleh seseorang yang melintas di malam hari, memindah beberapa pot tersebut ke halaman rumahnya.
Rasa memiliki (sense of belonging) bukanlah masalah penting di negara yang ekonominya mapan dan keamanannya stabil. Di kita, ini masih gawat sebagai persoalan. Lalu, siapakah yang paling layak menyelesaikan masalah ini? Kita, bersama, meskipun ia nyatanya adalah pekerjaan rumah bagi motivator dan dai untuk membangkitkan kesadaran kolektif tentang pentingnya rasa memiliki. Boleh juga dijadikan agenda Badan Bahasa untuk membahas fungsi ketaksaan makna dalam kata maupun frase serta apa saja dampaknya bagi pemahaman dan kesalahpahaman masyarakat.
Yang jelas, walaupun Perum Pegadaian bisa membereskan segala masalah tanpa masalah, tapi justru akan jadi masalah kalau sampai ikut-ikutan ngurus masalah ini, akibat rasa memiliki yang salah. Meskipun tampak sepele, tapi serius bahaya jika sesuatu diurus bukan oleh ahlinya, seperti dakwah diurus oleh penggiat dunia hiburan dan fatwa agama dipasrahkan kepada orang yang justru baru mempelajarinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar