foto karya Teguh Dewabrata |
Ada banyak rahasia renungan sosial dalam salat berjamaah, lebih-lebih di dalam satu-satunya salat-wajib-jamaah: salat Jumuah. Jumatan adalah ‘kopdar’ masyarakat semua lapisan. Jika selama ini orang-orang terpisah karena sekat kelas-kelas sosial, Jumatanlah yang menyatukannya. Ia meleburkan batas antarkelas.
Sebagaimana diketahui, di dalam Islam, salat berjamaah sangat dianjurkan (sunnah) untuk 5 waktu maktubah. Tapi, khusus untuk salat Jumat, statusnya dinaikkan menjadi wajib. Dengan demikian, tidak ada alasan bagi seorang muslim untuk antipati dan antisosial, misalnya dengan terus-menerus di dalam hotel, di gua, di bawah tempurung, selagi ada jumatan di muka bumi. Jumatan adalah pemersatu suku, ras, dan antargolongan.
Dalam kitab Usfuriyah (pada bagian cerita tambahan untuk pembahasan hadis kedelapan) disebutkan kisah tentang Maisaroh bin Khunais. Singkatnya, ia bicara dengan orang mati yang menyatakan bahwa orang di dunia itu sungguh rugi kalau tidak jumatan. Menurutnya, jumatan adalah ‘haji’ yang dapat dilakukan empat kali dalam sebulan. Terlepas bahwa yang dimaksud haji di sini adalah makna konotatif, yang dapat digarisbawahi adalah nilai jumatannya.
Jumat adalah hari istimewa dalam Islam, sebagaimana umat Nasrani punya hari Minggu dan Yahudi punya hari Sabtu. Dalam Islam, jika enam hari lainnya adalah pelayan, Jumat adalah bos-nya. Ibaratnya begitulah. Salat Jumat adalah momen krusial dalam sepekan. Contoh: di hari itu, kita disunnahkan potong kuku, potong bulu-bulu, termasuk rambut yang nampak dan rambut tak tampak, keramas, dan banyak sunnah lainnya. Bahkan, perjalanan ke masjid pun diatur, yakni sunnah berjalan kaki, kalem, tidak grusa-grusu. Tinggalkan Ninja atau RX King Anda di rumah. Gunakan kaki untuk melangkah.
Langkah kaki menuju masjid akan dihitung dan diganjar dengan pahala. Datang lebih pagi, begitu juga, ada bonusnya. Bonus-bonus ini pun berperingkat, dari senilai telur hingga unta, kira-kira begitulah gambaran ganjarannya. Kok bisa? Lah, manusia itu kan sukanya pamrih, suka hitung-hitungan. Makanya, mereka umumnya harus diiming-imingi poin, angka, dan kelipatan agar rajin beribadah (yang kelas sufi jelaslah sudah tidak repot mikir urusan begini). Dan puncak tabiat kita, manusia, adalah rakus dan kemaruk. Apa-apa diitung secara bisnis. Secara fitrah pun manusia akan selalu ingin mendapatkan yang lebih. Hanya orang yang dapat menahan dirilah yang dapat menjadi perkecualian, seperti dapat melepaskan sejenak obrolan bisnis saat berada di teras masjid.
Saat memasuki pintu masjid untuk salat, ada 70 malaikat melakukan cekpoin, semacam setoran sedikjari bagi pegawai, cuma yang ini tidak kita lihat secara kasat. Namun, manakala khatib sudah berdiri di atas mimbar, malaikat yang berdiri di pintu-pintu masjid itu pun melipat kertas, menyimpan catatan, sehingga kelompok yang datang terlambat sudah tidak kebagian bonus dan poin lagi.
Itulah beberapa aturan yang ditetapkan untuk diketahui dan dilaksanakan saat kita hendak pergi jumatan. Sudah? Cuman segitu? Belum, masih ada lagi.
Sehabis mengucapkan ‘salam’ setelah salat, masih ada cekpoin-cekpoin tambahan untuk menambah berat pundi-pundi amal. Sebab itulah, jangan terburu-buru mencelat usai salat meskipun ada anjuran “fantasyiru” (maksudnya “menyebar”) di dalam Surah Al-Jumuah, sebagaimana ada juga “fas ‘aw” (maksudnya “bersegera”) di ayat sebelumnya. Yang dimaksud “menyebar” di muka bumi untuk mencari keutamaan Allah itu dilakukan setelah Jumatan lebih dulu, dan bersegera sebelum salat itu artinya meninggalkan segala tetek-bengek urusan perniagaan, jaga toko, jualan siomay, dll, sebelum khatib naik ke atas mimbar.
Konon, Nabi pernah dicuekin jamaah di suatu waktu. Padakala itu, mereka berhamburan karena ada pedagang minyak dari Syam (Damaskus) padahal Nabi sudah ada di atas mimbar. Jamaah kemurungsung, meninggalkan beliau. Di masa sekarang, gelisahnya jamaah malah ada di depan dan di belakang: berangkat jumatan sudah masuk masa injury time, pulangnya duluan, mendahului yang lain.
Kalau dipikir-pikir, seberapa lama, sih, kita akan kehilangan waktu untuk menyelesaikan zikiran demi kesempurnaan salat jamaah? Kalau nambah salat sunnah, paling-paling nambah lagi 2-3 menit. Lak sebentar, tho, jika dibandingkan dengan waktu kita yang luangkan seharian? Saya memang tidak pernah menghitung berapa menit jatah duduk setelah salat untuk menuntaskan pembacaan surah-surah Al-Fatihah, Al-Ikhlas, Al-Falaq, dan An-Nas masing-masing 7 kali, serta menjawab ‘amin, amin, amin’ saat imam mengakhiri rangkaian ibadah pekan ini dengan doa. Tapi, saya yakin itu waktu yang sebentar saja jika diambil dari 24 jam waktu kita, apalagi jika ditinjau dari 7 hari dalam sepekan. Santai sajalah, toh sesudahnya kita masih punya banyak waktu untuk kerja lagi, ngantor lagi, ngopi lagi, wasap-an lagi, Facebook-an lagi.
Demikianlah rentetan kegiatan yang kita luangkan sesaat dalam sepekan untuk jumatan, untuk momen yang dianggap suci itu. Akan tetapi, namanya juga manusia, adakalanya, atau bahkan seringkali, dalam suasana seperti itu, mudah kita temukan banyak pula sampahnya. Lagi-lagi, dengan sangat amat terpaksa, hal ini harus dimaklumi karena manusia itu memang makhluk sepenuh ironi. Manusia itu ‘kan ciptaan Allah yang purna, paling sempurna, namun dia diberi unsur lupa supaya ‘manu’ itu ‘nisya’: mengandung lupa, “na-si-ya”.
Kita tahu, di sekolah, kenaikan kelas dan laporan akhir itu diberikan di akhir tahun pelajaran. Dalam hidup, hasil kerja kita di dunia diberikan di Hari Perhitungan. Nah, selama kegiatan berlangsung, kita tidak diberi tahu soal lulus atau tidak, namun jelas sudah ada indikator yang dapat kita tebak (nah, kalau tidak masuk sekolah, mau tebak-tebakan indikatornya siapa?).
Untuk mengetahui indikator-indikator salat jumat, misalnya, kita dapat mengajukan beberapa pertanyaan:
Anda berangkat jalan kaki atau naik sepeda motor? Selama di jalan, Anda menggunakan hak sendiri atau menyerobot hak pengguna jalan lain? Berapa kali Anda membunyikan klakson tin-tin-tin selama perjalanan tadi yang semua itu serupa membuang polusi suara ke sembarang telinga hanya karena ia gratisan? Apakah Anda mematikan ponsel sebelum salat karena takut mengganggu kekhusyukan; atau hanya dibikin getar-getar di saku celana atau di gulungan sarung, sehingga saat Anda sedang khusyuk-khusyukya, Anda sempat pula menebak-nebak, “nih ada wasap dari siapa, ya?”? Setelah tiba di masjid, Anda ngobrol saat khobtah Jumat atau tidak ngobrol tapi umek-umek ponsel? Setelah imam bertakbir dan membaca Al Fatihah, Anda sudah ‘amin’ duluan sebelum imam sempurna menyelesaikan bacaan Al-Fatihah?
Itu semua hanya contoh pertanyaan yang mungkin dapat kita ajukan untuk mengetahui indikatornya. Diterima atau tidak, itu bukan urusan kita.
Karena pergi jumatan itu senantiasa berurusan dengan perkara yang bersih, maka jangan pula ia dinodai oleh ketidakbecusan yang kadangkala ia terjadi dan dianggap biasa hanya karena saking banyaknya orang yang melakukannya. Misalnya, hanya karena ingin buru-buru tiba di masjid terus Anda main terobos saja rintangan di depan, merugikan banyak orang. Yang haq dan batil jangan dibikin salad karena alasan mau salat. Hanya karena ingin dapat tempat terdepan (padahal Anda berangkat dari rumah belakangan), terus main sembarang injak-injak sandal orang lain, lebih parah lagi bawa Swallow pulangnya bawa Homyped. Jumatan macam apa yang begituan?
Setiap langkah yang mengarah ke masjid akan dihitung sebagai pahala. Namun kalau Anda terpaksa naik motor karena trotoarnya sudah tidak aman sebab dihabisi oleh pedagang kaki lima, maka ini bukan urusan saya. Tanyakan sama Dishub atau bagian yang mengurus tata kota. Lantas, setelah tiba di masjid dan imamnya bikin gaduh lewat khotbah-khotbahnya? Lagi-lagi ini bukan urusan saya. Tanyakan sama takmir masjid, mengapa mereka mendata imam yang kekurangan forum sehingga di Jumatan pun mereka melampiaskan
(M. Faizi)
pernah tayang di Interidea, november 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar