Barangkali, ‘tengka’ dibaca téngka dalam Bahasa Madura) ini
berasal dari “tingkah”, “tingkah polah”. Dalam KBBI, tingkah berarti: (1) ulah
(perbuatan) yang aneh-aneh atau yang tidak sewajarnya; lagak; canda, dan; (2)
perangai; kelakuan. Ketika sebuah kata telah dipinjam untuk selanjutnya
dimiliki oleh bahasa tertentu, bisa jadi maknanya bergeser, bahkan menyimpang. Contohnya
adalah “kalimat” dalam bahasa Arab yang berarti “kata”, tetapi bermakna “satuan
bahasa yang berdiri sendiri (mandiri) dan predikatif” di dalam bahasa Indonesia
(yang disebut “kalam” dalam bahasa asalnya, Bahasa Arab).
Tengka adalah aturan tidak tertulis yang beredar di dalam
kehidupan masyarakat, yang mengatur pola-pola dan tata cara berhubungan serta
berkomunikasi antara-sesama anggota masyarakat/lingkungan. Misalnya, jika ada
tetangga yang wafat, tetangga yang sebelahnya pergi melayat; jika ada hajatan,
maka tetangga sebelahnya harus ikutan membantu atau menghadiri undangannya jika
diundang. Inilah yang disebut tengka di dalam tradisi orang Madura.
Ada istilah “ompangan”. Di Jawa disebut (kalau tak salah) “baleke”.
Ini bagian dari tengka. Ompangan adalah mengembalikan sumbangan yang pernah
disumbangkan orang lain kepada kita terutama pada saat hajatan. Ompangan,
umumnya, dicatat. Ompangan memang berkesan pamrih, dan tentu saja memberatkan
bagi pihak-pihak tertentu. Di sebagian tempat, tradisi seperti ini tak ada.
Saya pernah bertemu dengan seseorang yang pulang dari
Jakarta. Setelah berbasa-basi, saya simpulkan kalau kepulangannya itu demi
tengka. Aslinya, dia tidak ingin pulang karena baru saja pergi ke perantauan. Kata
dia, sang paman hendak membajak sawah. Orangtuanya menyuruh dia pulang agar turut
bergotong royong.
Secara hitung-hitungan, sebetulnya dia bisa memberi uang
kepada seseorang untuk menggantikan posisinya, tugasnya, yaitu membantu si
paman dalam membajak. Jelas, secara matematis, kalkulasi ekonomi, ia butuh
ongkos banyak untuk pulang dari Jakarta ke Sampang, lebih-lebih dia pulang
bersama istrinya, harus menutup toko kelontongnya, dan tentu saja harus kehilangan
banyak waktu. Tapi, apa daya, tengka-lah yang menuntutnya harus begitu, melampai
logika bisnis tadi, demi aturan aturan di dalam masyarakat yang tak tertulis itu.
Di beberapa tempat, di Madura, banyak orang yang ingin
umroh—karena kemungkinan untuk berkesempatan naik haji sudah sangat tipis—namun
pada akhirnya menggagalkan sendiri rencananya atas satu pertimbangan tengka
ini. Apa pasal? Uang untuk umroh cukup, tapi untuk tengka-nya tidak. Ada tengka
yang besar setelah umroh, antara lain; menyiapkan pesta penyambutan; menyuguhi
semua tamu dengan makanan berat, memberi mereka oleh-oleh. Terkadang, biaya
tengka yang dikeluarkan sehabis umroh bisa dua kali lipat lebih dari biaya
umrohnya. Memang, yang demikian ini tidak berlaku di semua daerah. Tetapi, hal
seperti ini benar-benar ada di dalam kehidupan masyarakat.
Kalau diamati, di balik aturan tengka itu terdapat aturan
paksaan agar kita peduli terhadap sesama. Sebab, berbuat baik, kalau tidak
dipaksa dan diatur secara ketat, terkadang dilampaui juga, disepelekan juga. Orang
akan berpikir tentang tengka itu, wong tidak wajib (secara fikih) dan
seterusnya. Makanya, adat lalu membuat aturan tidak tertulis agar masyarakat terbiasa
dalam berbagi, biasa saling menolong, biasa saling membantu. Dampak terbaik
dari hal ini adalah rasa guyub yang sangat tinggi, tidak individualistik seperti
mudah ditemukan di masyarakat yang tidak mengenal tradisi seperti ini, di kota
besar, misalnya. Dampak buruknya? Antara lain adalah seperti yang disebutkan di
muka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar