11 Mei 2019

Hal-Hal yang Hilang di Dalam Perjalanan Naik Bis



Ini cerita zaman dulu. Sebetulnya, peristiwanya tidak begitu dulu, yah, semacam beberapa tahun yang lalu saja, sebelum “share loc.” dikenal dan GPS masih menjadi kebutuhan navigasi dan tentara, beda dengan sekarang yang orang umum pun pada tahu dan punya, kayak sisir rambut.

Subang, 1/1/2013
Kalau kamu sedang duduk-duduk di tepi jalan, sedang jaga toko atau nongkrong, acapkali ada pelintas atau orang entah siapa yang mendadak berhenti, lalu mendekat. Kalau mereka naik mobil, mereka turun dari kabin. Jika naik motor, mereka akan matikan mesin, turun dari sadel, kadang setengah membungkuk juga sebelum bertanya.

“Misi... numpang tanya. Tahu sama rumahnya Mas Marco?
Mas Marco yang mana, ya?
Yang jualan meubel jati, Mas.
Oh, di situ. Sampeyan lurus saja ikuti jalan ini, nanti ada gang lebar ke kiri, masuk. Terus saja sampai ketemu perempatan, ada pohon mahoninya di kanan jalan. Sampeyan ikut ke kanan, notok sampai ketemu rumah sangat besar dan bertingkat...”
“Oh, di situ rumah Mas Marco?”
“Ndak, bukan, rumahnya sampingnya lagi, persis.”
“Ooo...iya...”

Cakap basa-basi seperti ini di kalangan, di zaman sekarang, nyaris tidak ada lagi, terutama di kalangan Gen Z, generasi yang masa pubernya dicapai bersamaan dengan masa kepresidenan Pak Joko. GPS sudah menjawab semua pertanyaan kamu. WhatApps akan ngasih tahu posisi rumah doi secara tepat. Naik-turun sadel kalau cuman buat nanya-nanya tak perlu lagi. Tapi, kan memang itu yang kita damba? Praktis dan instan.  

Subang kalau tak salah, tahun baru 2013
Meskipun tampak sepele, perubahan gaya hidup seperti ini akan turut pula mengubah sudut pandang kita terhadap kehidupan, terhadap manusianya, terhadap lingkungan. Pasalnya, orang makin jarang bertatap muka. Mereka lebih sering bicara dengan layar LCD. Kalaupun berkumpul di satu tempat, tapi urusan mereka sendiri-sendiri. Perubahan gaya ini juga berpengaruh terhadap bahasa, khususnya pepatah. Yang dulu eksis, kini harus dihapus, atau diubah: Malu bertanya, sesat di jalan. Nanya melulu, bikin malu. Ogah bertanya, pakailah GPS.



***

Apakah kita mau mengutuk teknologi? Kurang kerjaan, ah. Nyatanya,  meskipun banyak yang antiteknologi dan tetap mengutuknya, orang awam merasa lebih nyaman menjalani hidup dengannya, terutama karena adanya teknologi komunikasi dan transportasi. Namun, kalau mau jujur, yang paling dijunjung oleh generasi awal adalah keluhuran budi, dan itu wujud daripada humanisme, kemanusiaan yang beradab. Humanisme inilah yang dapat menyatukan umat manusia yang beda ras, beda agama, beda bangsa, bukan teknologi.

lokasi sama dengan foto di atas 
Di perjalanan, banyak sisi-sisi lain humanisme yang ‘mengelupas’, berubah, bahkan ada pula yang mulai pudar. Sejak dibangunnya tol berkepanjangan panjang (begitu orang menyebut Trans-Jawa) di pulau Jawa, yang dulu satu RW cuma beda tegalan, kini terpisah beneran.  Yanto di selatan dan Santi di utara, yang dulu sering intip-intipan, kini hanya dapat melihat bentangan beton memanjang. Bonusnya adalah polusi udara dan suara.

Bentangan alam yang dulu indah dengan jagung dan padi, kini raib sebagiannya, ditumbuhi rumah dan cagak besi. Di tahun 80-an, dulu, kenyataan yang terjadi sekarang ini hanya ada di dalam cerpen futuristik atau science-fiction, belum ada di atas tanah. Sekarang, adanya tanah dan hutan kecil di tengah kotalah yang futurustik. Ya, apa-apa itu, pada saatnya nanti, akan serba terbalik.

Inilah beberapa situasi dan keadaan yang hilang dari atas aspal, terutama kalau kamu naik bis.

WARUNG MAKAN TAK SEBANYAK DULU

Dari balik kaca bis, di perjalanan, kalau di Sumatra kita lihat Bukit Barisan, kalau di Jawa kita melihat barisan warung makan, utamanya jika perjalanan tersebut dilakukan di Jawa pesisir utara. Suasana warung-warung makan di ruas jalan itu sangat ramai, rapat, dan meriah. Sekarang, itu sebagiannya mulai mati, jadi gosip untuk "rikolo jaman semono". Jika kamu melintasi jalan tol, yang akan kamu hadapi adalah sawah dan gudang di kanan kiri. Warung tak ada, seperti tidak adanya kendaraan lain yang datang dari lawan arah kecuali di seberang batas pemisah. Tidak ada lagi orang ngawur yang nyentrongkan lampu jauhnya semena-mena ke arah muka.

Lihatlah sepanjang ruas Losari, Kecipir, Tengguli, Tanjung, suasana pertokoan masih lumayan hidup, tapi mulai meredup. Dulu, di situ, banyak sekali warung makan dan truk yang mangkal. Tahun lalu, atau tiga tahun yang lalu, di sana masih semarak. Saya menyaksikannya. Tapi, bulan yang lalu, yang saya lihat begitu masuk ke wilayah Cirebon, warung-warung besar sudah pada tutup. Halamannya penuh rumput. Kalau pun ada yang buka, halamannya tampak kayak orang brengosan yang tak pernah cuci muka. Rumah makan sekelas RM Aroma mungkin masih bertahan, tapi kelas menengah seperti RM Minang Asri atau warung mi atau ayam bakar, habis-lah.

Orang zaman kuno, era musik disko, kalau kita mau bepergian itu bawa nasi dengan piring dan rantang sendiri. Air minum dimasukin jeriken, sudah mirip minyak tanah aja. Jadinya, mampir ke warung makan pun memang jarang. Belakangan, orang beli nasi tinggal melipir ke warung atau bungkus pakai styrofoam. Airnya beli air kemasan. Sesudah makan, tinggal buang saja ke pinggir jalan, tempat sampah yang super-panjang-lebar. Orangnya sudah mati, sampahnya abadi.
Apakah dengan adanya fenomena tol panjang seperti sekarang, ketika warung semakin berkurang, gaya hidup orang bakal kembali ke zaman dulu lagi dalam hal makan?

GOYANG TIPIS, PREI, KRES

Jalanan kian rapat. Selah antar-kendaraan sangat padat. Kres-kresan kendaraan hanya dipisah garis marka, bukan separator atau cekungan. Karena itu, fungsi sopir kiri alias kernet sangatlah baperan, eh, berperan.

pulang dari Kudus, 13/12/2015 
Kamu pernah dengar kernet teriak begini? “Goyang tipis, masuk, kiri...”

Kalau ada aba-aba begitu, sopir akan menggeser bis agak ke kiri. Tujuannya adalah agar pandangan si kenek tidak terhalang padangan kendaraan di depan, seperti bak truk atau sesama bis. Ketika padangan si kenek sudah bebas ke depan, dia akan mengaba-aba kembali: kres atau prei.

“Kres...

Kalau “kres”, artinya gerakan menyalip harus ditunda dulu dan gas harus dikendorkan. Bis kembali ke pengaturan awal. Jika perintahnya adalah “Prei kiri!”, maka sopir akan melanjutkan gerakan, goyang kiri, yakni menyalip kendaraan di depannya dari sebelah kirinya.

Kernet-kernet bis era 90-an dipastikan juga seorang stuntaman. Ia bergelantungan di pintu lipat yang dibuka lebar-lebar pada saat bis melaju kencang. Vin Diessel atau  Schumacher pastilah merinding kalau melihat adegan seperti ini dibawa enteng, bahkan sambil rokok-an.

Sekarang, aksi heroik seperti ini sudah kurang kerjaan. Mau apa kok masih tengak-tengok kanan-kiri jika jalan sudah membentang lurus, luas, tanpa rintangan? Lagi pula, tidak ada lagi kendaraan yang ngawur dari arah depan karena separator di jalan tol itu sangat lebar, pakai beton atau pagar.

Tentu saja, kalau kamu masih ingin merasakan sensasi begituan, kamu harus pergi ke Mojokerto-Jombang, atau Nganjuk-Madiun, dan naik bis yang tidak lewat jalan tol. Atau pergilah ke trek lainnya di luar sana, seperti Banda Aceh-Medan, Palembang-Bandar Lampung, juga (“konon”, soalnya yang trek ini saya belum tahu) di Medan-Pekanbaru, atau Makassar-Toraja atau Palopo. Pekalongan-Tegal juga masih bisa, jalannya lebar dan bisa nyalip dari kiri. Tapi tentunya, kamu harus jadi penumpang meteran, yang baru saja kamu sibuk membetulkan letak pantat untuk duduk, tujuan sudah tiba, sudah sampai.

RAIBNYA ASONGAN

Yang paling menarik dari numpak bis adalah adanya fenomena “toko yang mendatangi kita”, bukan “kita yang pergi ke toko”. Itulah dia asongan. Waktu saya kecil, saya berpikir, ‘Kok bisa ada toko di dalam bis, ya? Enaknya jajan cemilan di toko yang berjalan’, begitu pikir saya. Baru setelah dewasa saya ngerti kalau ternyata penjual asongan itu gonta-ganti pemain di setiap terminal.

Keberadaan asongan memang menyenangkan bagi penumpang, tapi nyatanya juga mengancam secara keamanan. Banyak oknum copet yang menyamar. Dulu, saat bis menunggu antrian kapal di Pelabuhan Kamal, pelabuhan yang konon tersibuk ketiga di Asia Tenggara (ditandai dengan 4 dermaga aktif padahal yang wira-wiri cuma orang Madura yang jalur daratnya juga buntu sampai Kalianget) itu, asongan akan berhambur masuk ke dalam. Beberapa kali saya melihat penumpang yang kecopetan begitu asongan turun dan penumpang sudah turun ke dek kapal, sama seperti yang juga kerap terjadi di terminal-terminal.

Namun, sejak dibukanya (tol) Jembatan Suramadu tahun 2009, Pelabuhan Kamal yang mirip New York karena hidup 24 jam, langsung lemes, mati suri. Kalau sekarang, jam 9 malam saja lewat di sana, ih, rasanya seperti sedang melakoni uji nyali. Tol Suramadu mengubah suatu tempat, suatu kondisi ekonomi, suatu iklim sosial, dengan sangat cepatnya. Meskipun begitu, ada juga yang berkomentar nyelekit kayak ini: “Dulu, kita selalu dibikin sebel karena antre lama di Kamal. Feri-nya ngetem lama, enggak berangkat-berangkat. Giliran sekarang ada Suramadu, gantian si Feri yang nunggu kita. Rasain.”

Itulah beberapa perubahan besar di perjalanan. Saya yang hidup di kedua masa bisa merasakannya sekarang. Generasi anyaran hanya tahu yang versi baru. Generasi kuno hanya bisa baper kalau ingat yang dulu. Jangankan uang, pepatah pun, seperti disinggung di atas, juga banyak yang berubah, bahkan perlu dihapus. Contoh: Ada api, ada asap. Kompor elektrik tidak berasap. Pepatah tidak laku. Ada gula, ada semut. Gulanya mengandung racun, semut tidak mau. Habis manis, sepah dibuang. Sepah masih bisa diolah dan jadi duit, jadilah habis manis, sepah ditelan.

Tapi, apa-apa itu memang sudah berubah semua, kok. Makanya, kita harus melatih diri agar tidak mudah baper, seperti jagoan kita yang sudah yakin menang di Pilpres mendatang, eh, kok kaaaalah. Jangankan Pilpres yang lima tahunan, uang yang katanya alat tukar berbahan kertas atau logam—yang kita butuhkan tiap hari itu—nyatanya kerap hanya tinggal nama dan digit saja. Contoh: misal esai saya ini dimuat, paling nanti juga ditransfer, terus, belum sempat diambil, sudah saya teruskan lagi buat bayar rekening listrik.

*artikel ini sudah dikirim ke Mojok, tp enggak terbit-terbit akhirnya saya terbitkan saja sendiri 



6 komentar:

dian nafi mengatakan...

jadi ingat saat berjam-jam dalam perjalanan bus

M. Faizi mengatakan...

@dian nafi: betul, paling lama saya pernah 29 jam dari sumenep ke Jakarta. sekarang, terakhir saya ikut, sebulan yang lalu, cuma 14 jam via trans-jawa

potrehkoneng mengatakan...

kamal-perak ini legenda saya jaman kuliah. kadang karena asik ngobrol di kapal ga sadar kalau bisnya udah keluar. akhirnya lari-larian ngejar bis sebelum beneran ketinggal. =))

dan sekarang menjadi penghuni setia pinggir jalan kedinding sisi surabaya tiap mau mudik ke madura.

M. Faizi mengatakan...

makasih makasih sudah mau berkometnar. Kedinding sangat tidak menarik karena harus memberhentikan di tempat bukan pemberhentian. Itu kalau terpaksa saja, meskipun sungguh tidak menyenangkan. he he he he

potrehkoneng mengatakan...

enggi. tape ketimbang harus ke bungur jauh. jadilah tiap mudik jadi pejuang kedinding. *halah

M. Faizi mengatakan...

iya juga,sih

Entri Populer

Shohibu-kormeddaL

Foto saya

Saya adalah, antara lain: 6310i, R520m, Colt T-120, Bismania, Fairouz, Wadi As Shofi, Van Halen, Puisi, Hard Rock dll

Pengikut

Label

666 (1) Abdul basith Abdus Shamad (1) adi putro (1) adsl (1) Agra Mas (1) air horn (1) akronim (1) Al-Husari (2) alih media (1) Alquran (1) amplop (1) Andes (1) Android (1) anekdot (3) aula asy-syarqawi (1) Bacrit (2) bahasa (5) baju baru (1) baju lebaran (1) Bambang Hertadi Mas (1) bani (1) banter (1) Basa Madura (1) basabasi (1) batuk (1) bau badan (1) bau ketiak (1) becak. setiakawan (1) belanja ke toko tetangga (1) benci (1) bis (3) bismania (2) BlackBerry (1) Blega (1) blogger (2) bodong (1) bohong (2) bolos (1) bonceng (1) bromhidrosis (1) Buang Air Besar (BAB) (1) buat mp3 (1) budaya (1) buku (2) buruk sangka (2) catatan ramadan (4) celoteh jalanan (1) ceramah (1) chatting (1) chemistry (1) cht (1) Cicada (1) Colt T 120 (1) corona virus (1) Covid 19 (1) cukai (1) curhat (5) defensive driving behavior development (1) dering (1) desibel (2) diary (1) durasi waktu (1) durno (1) ecrane (1) etiket (17) fashion (2) feri (1) fikih jalan raya (1) fikih lalu lintas (1) fiksi (2) filem (1) flu (1) gandol (1) gaya (1) ghasab (1) google (1) guru (2) guyon (1) hadrah (1) handphone (1) Hella (1) hemar air (1) Hiromi Sinya (1) humor (2) IAA (1) ibadah (2) identitas (1) ikhlas (1) indihome (1) inferior (1) jalan raya milik bersama (1) jamu (1) jembatan madura (1) jembatan suramadu (2) jenis pekerjaan (3) jiplak (2) jual beli suara (1) Jujur (3) Jujur Madura (1) jurnalisme (1) jurnalistik (3) KAI (1) kansabuh (1) Karamaian (1) karcis (1) Karina (1) Karma (1) Kartun (1) kebiasaan (5) kecelakaan (2) kehilangan (1) kenangan di pondok (1) Kendaraan (2) kereta api (1) keselamatan (1) khusyuk (1) kisah nyata (7) Kitahara (1) kites (1) klakson (1) klakson telolet (1) kode pos (2) kopdar (2) kopi (1) kormeddal (19) korupsi (2) KPK (1) kuliner (2) L2 Super (2) lainnya (2) laka lantas (1) lakalantas (1) lampu penerangan jalan (1) lampu sein (1) layang-layang (1) lingkungan hidup (3) main-main (1) makan (1) makanan (1) malam (1) mandor (1) Marco (1) masjid (1) Mazda (1) MC (1) menanam pohon (1) mengeluh (1) menulis (1) mikropon (1) mimesis (1) mirip Syahrini (1) mitos (1) modifikasi (1) money politic (1) Murattal (1) musik (1) nahas (1) napsu (1) narasumber (1) narsis (1) Natuna (1) ngaji (1) niat (1) Nokia (1) nostalgia (2) Orang Madura (1) Paimo (1) pandemi (1) pangapora (1) paragraf induktif (1) parfum (1) partelon (1) pasar (1) pekerjaan idaman (1) pemilu (1) peminta-minta (1) penata acara (1) pendidikan (1) pendidikan sebelum menikah (1) penerbit basabasi (1) pengecut (1) penonton (1) penyair (1) penyerobotan (1) Pepatri (1) perceraian (2) Perempuan Berkalung Sorban (1) perja (1) perjodohan (1) pernikahan (1) persahabatan (1) persiapan pernikahan (1) pertemanan (1) pidato (1) plagiasi (2) plastik (1) PLN (1) pola makan (1) poligami (1) polisi (1) politik (1) polusi (1) polusi suara (2) Pondok Pesantren Sidogiri (1) ponsel (2) popok (1) popok ramah lingkungan (1) popok sekali pakai (1) PP Nurul Jadid (1) preparation (1) profesional (1) PT Pos Indonesia (1) puasa (5) publikasi (1) puisi (2) pungli (1) Qiraah (1) rasa memiliki (1) rekaan (1) rempah (1) ringtone (1) rock (1) rokok (1) rokok durno (1) rumah sakit (1) Sakala (1) salah itung (2) salah kode (3) sanad (1) sandal (1) santri (1) sarwah (1) sastra (1) sekolah pranikah (1) senter (1) sepeda (3) sertifikasi guru (1) sertifikasi guru. warung kopi (1) shalat (1) shalat dhuha (1) silaturahmi (1) silaturrahmi (1) siyamang (1) SMS (1) sogok bodoh (1) sopir (1) soto (1) sound system (1) stereotip (1) stigma (1) stopwatch (1) sugesti (1) sulit dapat jodoh (1) Sumber Kencono (1) Sumenep (1) suramadu (1) syaikhona Kholil (1) syawalan (1) takhbib (1) taksa (1) tamu (2) Tartil (1) TDL (1) teater (1) teknologi (2) telkomnet@instan (1) tengka (1) tepat waktu (1) teror (3) tertib lalu lintas (28) The Number of The Beast (1) tiru-meniru (1) TOA (2) tolelot (1) Tom and Jerry (2) tradisi (1) tradisi Madura (4) transportasi (1) ustad (1) wabah (1) workshop (1) Yahoo (1) Yamaha L2 Super (1)

Arsip Blog