Sebelum
terlanjur menerima Rori jadi suami anaknya, Pak Santoso (biasa dipanggil Pak
So) berniat menguji integritas, intelektualitas, serta pengalaman si calon menantu.
Berikut hasil wawancara Pak “So” kepada “Ri”. Dalam kasus ini, saya berperan sebagai tukang catat
saja.
“Aku
kan ndak pernah mondok, Nak. Kamu itu di pondok ngapain aja?”
“Di
pondok, ya, mengaji, Bapak Mertua!”
“Hus,
belum-belum sudah nyolot. Panggil aku ‘Bapak’ saja, tidak usah pakai
embel-embel mertua segala.”
“Oh,
maaf.”
“Cuma
mengaji, kan bisa di rumah? Apa bedanya?”
“Bisa,
sih, Pak, asalkan kiainya didatangkan ke rumah. Tapi, kalau di rumah, kita-kita
ini tidak bisa mengabdi, tidak bisa berkhidmat untuk pondok dan kiai. Lagi
pula, kalau di rumah nanti tidak bisa disebut mondok, melainkan les atau
kursus, kecuali kalu kita memang tinggal di semacam Pondok Maspion Indah yang
perumahan itu atau di Pondok Saung Kabayan yang jualan ayam lalapan.”
“Kalau
misalnya tinggal di rumah tapi ngajinya di pondok?”
“Rumahnya
di lingkungan pondok apa enggak? Jika di luar pondok, dia namanya “santri
kalong”. Kalau di lingkungan pondok, namanya Gus, atau Lora, anaknya kiai,
Bapak.”
“Oh,
begitu, ya? Baik, lanjut. Pondok kamu itu pake tembok atau terbikin dari kayu
dan berkaki kayak rumah gadang itu?”
“Pondokan
saya sudah bertembok, Pak. Ada juga tersisa pondok kayunya, tapi sudah tinggal
beberapa, banyak yang rusak, soalnya kadang diteteli sama santri-santri buat
bahan bakar tungku saat masak-masak.”
Pak
Santoso diam dulu. Entah beliau mengumpulkan bahan pertanyaan atau sekadar
memberikan jeda. Setelah nyeruput teh, beliaunya kembali bertanya.
“Maaf,
ya. Kok kalau santri itu identik dengan korengan, gudikan, kusut, kumal? Tapi
kamu ini, mmm... lumayanlah kalau kamu ini, agak necis.”
“Oh,
itu stereotip saja, Pak. Yang membikin kesan seperti itu pasti bukan santri, biasanya
media atau orang yang mudah percaya film, koran, atau hasil penelitian yang
surveinya hanya dilakukan beberapa hari dan ditulis dalam beberapa halaman,
sementara pondoknya sudah berusia lebih satu abad. Yaelah, pasti banyaklah yang
terlewat.”
“O, begitu, toh? Baik. Katanya, di pondok itu ngaji kitab, ‘gundul’ pula. Kok cari susah, sih. Sekarang kan sudah banyak kitab terjemahan. Bukankah bisa saja kita belajar sendiri di rumah?”
“Oh,
itu maksudnya supaya kita belajar kepada ahlinya, kepada yang asli, bukan
kepada yang kw. Kalau yang ori ada garansinya, yang kw enggak. Mudah dipahami,
kan, Pak?”
“Paham,
agak paham, sih. Tapi, gak apa-apa. Nanti aku bakal paham sendiri. Butuh waktu
agak lama untuk mikir beginian. Okay, soal biaya, bagaimana?”
“Murah,
Pak, pasti lebih murah daripada di sekolah-sekolah, apalagi kalau dibandingkan
dengan biaya pendidikan dan biaya hidup di kampus. Di kampus itu, selain biaya
uang gedung, konon—kata teman saya, sih—yang amat mahal itu biaya pacaran dan
biaya nongkrongnya. Sementara , semua itu tidak ada.”
“Bagaimana
rasionalisasi bisa murah?”
“Sebab
dana ini-itunya banyak ngambil dari dompet kiai. Pengasuhnya mikir, masyarakat
dan wali santrinya juga mikir untuk melangsungkan pendidikan. Kalau sekolahan
kan sudah tidak perlu mikir lagi. Pikiran operasionalnya sudah dititipkan ke
Kemenag dan Kemendiknas sehingga tinggal jalan saja lembaga pendidikannya.
Kalau pondok, pondoknya, lho, bukan sekolahan yang ada di pondok, itu harus
“mikir sambil jalan”. Tentu saja, untuk kasus pondok moderen pasti beda.
Biayanya tidak murah. Saya ini bicara podok yang umum-umum, yang pada umumnya
gitu. Kalau ada yang sangat mahal, itu pasti pondok perkecualian. ”
“Terus,
kalau jadi kiai di situ, berapa gajinya?”
“Tidak
digaji, Pak. Kiainya cari sendiri sumber penghidupannya. Adakalanya
disalamtempeli oleh walisantri, tapi jarang-jarang.”
“Wah,
enak bener itu. Enggak usah kerja, dikasih duit.”
“Pas
dapat salam tempel tentu enak, tapi yang bangun pondok dan mengoperasikan itu
emang duit dari mana jika sebagiannya bukan dari salam tempel itu? Dari
sumbangan yang cuman semehek-mehek begitu kan tidak mungkin. Dan kiai kami itu
juga makan, Pak, ndak terus-menerus berpuasa.
Kalau disuruh ngajar gratisan terus-terusan, emang kitabnya kayak
printer yang bisa nyetak uang begitu?”
***
Percakapan
ini hanya gurauan saja. Tentu saja, saya bikin wawancara imajiner seperti ini
supaya ada imbangan bagi pandangan kelompok yang ada di sana. Sudah sejak lama,
ada kelompok yang ingin merendahkan kaum santri dan/atau pesantren dengan
berbagai caranya. Usaha untuk merendahkan ini bukan isapan jempol, lho, tapi
nyata. Cirinya mereka, antara lain, adalah menganggap penghormatan santri
terhadap kiai sebagai sesuatu yang berlebihan, kultus, dan itu berbahaya bagi
kemurnian keyakinan, terhadap kesucian iman tepatnya. Itu kata mereka, tapi
tidak kata santri, sebab santri tahu bedanya hormat bendera dan hormat kepada orang
tua.
Banyak
hal lucu dan aneh di pondok, layaknya mengada-ada. Yang mondoknya sebentar
pasti percaya, apalagi yang lama. Yang tidak percaya pasti yang mondoknya hanya
di Saung Kabayan atau di pondok prodeo.
Di
antara hal unik dan nyaris tidak masuk akal itu adalah bahwa ada santrinya kiai
yang terkadang bukan berwujud orang, melainkan mobil atau jin. Kalau enggak
percaya, tanya saja kepada sebagian “petualang pesantren”, “santri kelana”, atau
“santripedia” seperti Toni Pangcu. Saya tidak akan cerita tentang santri jin
karena wilayah ini terlalu privat untuk dibaca publik. Soal memondokkan mobil,
memang ada benar. Alasan si empunya—kira-kira kalau diparafrasa ulang redaksinya—adalah; “Mobil ini dipasrahkan kepada Kiai agar
diajak-ajak oleh Panjenangan ke pengajian. Sebab, saya yakin, Panjenengan akan
mengajak mobil ini berkhidmah, seperti ke pengajian, ndak mungkin diajak pergi
ke tempat tidak benar, seperti dibawa pergi ke tempat berlangsungnya rapat makar
atau perjudian.”
Pernah
kejadian, eh, sering malah (karena lebih dari lima kali), Kiai Jauhari dari
Pace, Jember, bertandang (sowan) ke beberapa kiai di Madura. Beliau bawa
rombongan dalam tiga mobil: mobil pertama dikendarai Kiai Jauhari sekeluarga,
mobil kedua membawa rombongan, mobil ketiga berisi sebagian anggota rombongan
dan oleh-oleh, seperti beras, kopi, sayur, dll. Ketika hendak pulang, seluruh
penumpang mobil ketiga pindah ke mobil kedua. Terus, mobilnya? Ditinggal
sebagai oleh-oleh, berikut semua barang yang ada di dalamnya. Aneh, ya? Tapi
itu ada beneran.
Masih
ada sekian keistimewaan yang ada di pesantren. Contoh: pengawasan di pondok itu
24 jam, baik secara fisik oleh pengurus maupun secara spiritual oleh pengasuh. Ini
berbeda dengan di kelas yang diawasi dari pagi sampai siang atau sore saja,
diawasi oleh guru, saptam, atau CCTV. Setelah anak pulang ke rumah, orangtuanya
yang ganti ambil peran. Tapi, benarkah mereka sempat memantau anak
sebenar-benar? Mampir di mana saja mereka ketika pulang? Malamnya, ke mana
mereka keluyuran?
Eits,
lama-lama, saya kok merasa sedang nulis endorsemen, ya? Oh, tidak. Ini tentang
alasan mengapa Rori harus menjelaskan kepada calon mertuanya, Pak Santoso, ini
dan itunya karena Pak So hanya tahu sedikit tentang hal ini
“Sebentar,
Nak!” tiba-tiba Pak Santoso nyeletuk. “Intinya, apa yang sangat membedakan
antara pesantren—taruhlah—dengan lembaga pendidikan lain?”
“Nganu,
Pak, mmm... jaminan kepuasannya!”
“Wah,
garasi? Eh, garansi? Ada garansinya begitukah?”
“Maksud
saya,“jaminan kepuasan” itu begini: Di pondok, kalau mereka berhenti, biasanya
orangtua tetap menyambungkan tali silaturahmi dengan kiai. Selebihnya, kiai
terus mendoakan mereka sampai mati, si santri atau si kiai. Setahu saya, RAM
dan VGA Card ada yang lifetime guaratee, tapi keburu RAM dan VGA-nya
yang ‘mati’ duluan. Tapi, saya juga reaslitis, tentu saja, bolong-bolongnya
juga banyak. Saya harus imbang agar tidak jurkam. Mari kita kupas.”
“Kalau
terlalu serius mondok, biasanya anak jadi kurang aktif dalam pergaulan dengan
sesamanya, apalagi sama lain jenis. Wong mau ketemu saja mereka enggak bisa.
Pengalaman saya waktu mondok dulu, saya berpapasan dengan santri putri hanya
ketika berangkat sekolah. Kebetulan, di pondok kami, di jalan menuju madrasah
itu ada perlintasan, kayak rel kereta api begitu, tapi tanpa JPL dan penjaga,
yang kalau kebetulan ada gerombolan putri yang lewat, gerombolan putra tahan
dulu. Setelah mereka melintas, barulah gantian kami yang lewat, sembari
mengendus-endus sisa Pucelle atau Cologne dan wangi pupur yang masih mengambang
di udara yang terhirup dulu oleh hidung kami. Sementara teman kita di kampus,
main ke kamar cewek terus masuk ke dalam dan boleh mengunci pintu? Pak kos diam
saja? Dan, ngapain saja mereka di dalam? Wiridan? Main halma? Masak cuman main
halma sampai tutup pintu segala?”
“Wah,
seru juga, ya!” Pak So menyela paparan Ri.
“Iya,
dong. Dan yang tidak menarik lainnya masih ada, yakni karena kalau pagi mereka
mengantuk. Di kelas mengantuk, di mushalla mengantuk. Mengapa mengantuk? Karena
malamnya begadang. Tapi, mereka begadang sesuai anjuran oleh Rhoma Irama,
begadang yang ada perlunya, yakni belajar dan tahajud, bukan begadang demi
menghabiskan jatah kuota yang bakal habis setelah fajar. Kalau begitu, nah,
kapan waktu tidurnya jika bukan tidak di dalam kelas? Katanya begitu, sih.”
“Ri?”
“Ya,
Pak!”
“Ternyata,
jawabanmu itu menarik.”
“Lah,
kan calon menantunya, Bapak, he, he, he....
“Husy....!!”
“Kalau
tidak keren, mana berani saya ngelamar putrinya bapak.”
“Husy
lagi... Heh, aku yang tidak pernah punya pengalaman mondok, jadi pengen mondok,
sayang usiaku sudah tuwir”
“Tapi,
omong-omong, janganlah Bapak ikut-ikutan jadi santri.”
“Loh,
emang kenapa?”
“Lah,
terus, kalau bapak yang jadi santri, terus sya mau melamar siapa?”
4 komentar:
Bacanya sambil senyum2. Ingat masa2 mondok
@ Subaidi: asyiklah jika begitu
Setelah membacanya, saya berdoa, semoga camer saya tidak bertanya sepanjang ini tentang pengalaman di pesantren. Sebab saya hanya mondok 3 tahun, numpang belajar atana' ka'dintoh. Hehe.
Syukron kathiran Kiai atas inspirasinya.
@Mizan: makasih sudah membaca
Posting Komentar