22 Mei 2019

Panduan Bagi Camer yang Akan Menerima Santri Sebagai Calon Menantunya



Sebelum terlanjur menerima Rori jadi suami anaknya, Pak Santoso (biasa dipanggil Pak So) berniat menguji integritas, intelektualitas, serta pengalaman si calon menantu. Berikut hasil wawancara Pak “So” kepada “Ri”. Dalam kasus ini, saya berperan sebagai tukang catat saja.

“Aku kan ndak pernah mondok, Nak. Kamu itu di pondok ngapain aja?”
“Di pondok, ya, mengaji, Bapak Mertua!”

“Hus, belum-belum sudah nyolot. Panggil aku ‘Bapak’ saja, tidak usah pakai embel-embel mertua segala.”
“Oh, maaf.”

“Cuma mengaji, kan bisa di rumah? Apa bedanya?”
“Bisa, sih, Pak, asalkan kiainya didatangkan ke rumah. Tapi, kalau di rumah, kita-kita ini tidak bisa mengabdi, tidak bisa berkhidmat untuk pondok dan kiai. Lagi pula, kalau di rumah nanti tidak bisa disebut mondok, melainkan les atau kursus, kecuali kalu kita memang tinggal di semacam Pondok Maspion Indah yang perumahan itu atau di Pondok Saung Kabayan yang jualan ayam lalapan.”

“Kalau misalnya tinggal di rumah tapi ngajinya di pondok?”
“Rumahnya di lingkungan pondok apa enggak? Jika di luar pondok, dia namanya “santri kalong”. Kalau di lingkungan pondok, namanya Gus, atau Lora, anaknya kiai, Bapak.”

“Oh, begitu, ya? Baik, lanjut. Pondok kamu itu pake tembok atau terbikin dari kayu dan berkaki kayak rumah gadang itu?”
“Pondokan saya sudah bertembok, Pak. Ada juga tersisa pondok kayunya, tapi sudah tinggal beberapa, banyak yang rusak, soalnya kadang diteteli sama santri-santri buat bahan bakar tungku saat masak-masak.”

Pak Santoso diam dulu. Entah beliau mengumpulkan bahan pertanyaan atau sekadar memberikan jeda. Setelah nyeruput teh, beliaunya kembali bertanya.

“Maaf, ya. Kok kalau santri itu identik dengan korengan, gudikan, kusut, kumal? Tapi kamu ini, mmm... lumayanlah kalau kamu ini, agak necis.”
“Oh, itu stereotip saja, Pak. Yang membikin kesan seperti itu pasti bukan santri, biasanya media atau orang yang mudah percaya film, koran, atau hasil penelitian yang surveinya hanya dilakukan beberapa hari dan ditulis dalam beberapa halaman, sementara pondoknya sudah berusia lebih satu abad. Yaelah, pasti banyaklah yang terlewat.”

“O, begitu, toh? Baik. Katanya, di pondok itu ngaji kitab, ‘gundul’ pula. Kok cari susah, sih. Sekarang kan sudah banyak kitab terjemahan. Bukankah bisa saja kita belajar sendiri di rumah?”
“Oh, itu maksudnya supaya kita belajar kepada ahlinya, kepada yang asli, bukan kepada yang kw. Kalau yang ori ada garansinya, yang kw enggak. Mudah dipahami, kan, Pak?”

“Paham, agak paham, sih. Tapi, gak apa-apa. Nanti aku bakal paham sendiri. Butuh waktu agak lama untuk mikir beginian. Okay, soal biaya, bagaimana?”
“Murah, Pak, pasti lebih murah daripada di sekolah-sekolah, apalagi kalau dibandingkan dengan biaya pendidikan dan biaya hidup di kampus. Di kampus itu, selain biaya uang gedung, konon—kata teman saya, sih—yang amat mahal itu biaya pacaran dan biaya nongkrongnya. Sementara , semua itu tidak ada.”

“Bagaimana rasionalisasi bisa murah?”
“Sebab dana ini-itunya banyak ngambil dari dompet kiai. Pengasuhnya mikir, masyarakat dan wali santrinya juga mikir untuk melangsungkan pendidikan. Kalau sekolahan kan sudah tidak perlu mikir lagi. Pikiran operasionalnya sudah dititipkan ke Kemenag dan Kemendiknas sehingga tinggal jalan saja lembaga pendidikannya. Kalau pondok, pondoknya, lho, bukan sekolahan yang ada di pondok, itu harus “mikir sambil jalan”. Tentu saja, untuk kasus pondok moderen pasti beda. Biayanya tidak murah. Saya ini bicara podok yang umum-umum, yang pada umumnya gitu. Kalau ada yang sangat mahal, itu pasti pondok perkecualian. ”

“Terus, kalau jadi kiai di situ, berapa gajinya?”
“Tidak digaji, Pak. Kiainya cari sendiri sumber penghidupannya. Adakalanya disalamtempeli oleh walisantri, tapi jarang-jarang.”

“Wah, enak bener itu. Enggak usah kerja, dikasih duit.”
“Pas dapat salam tempel tentu enak, tapi yang bangun pondok dan mengoperasikan itu emang duit dari mana jika sebagiannya bukan dari salam tempel itu? Dari sumbangan yang cuman semehek-mehek begitu kan tidak mungkin. Dan kiai kami itu juga makan, Pak, ndak terus-menerus berpuasa.  Kalau disuruh ngajar gratisan terus-terusan, emang kitabnya kayak printer yang bisa nyetak uang begitu?”

***

Percakapan ini hanya gurauan saja. Tentu saja, saya bikin wawancara imajiner seperti ini supaya ada imbangan bagi pandangan kelompok yang ada di sana. Sudah sejak lama, ada kelompok yang ingin merendahkan kaum santri dan/atau pesantren dengan berbagai caranya. Usaha untuk merendahkan ini bukan isapan jempol, lho, tapi nyata. Cirinya mereka, antara lain, adalah menganggap penghormatan santri terhadap kiai sebagai sesuatu yang berlebihan, kultus, dan itu berbahaya bagi kemurnian keyakinan, terhadap kesucian iman tepatnya. Itu kata mereka, tapi tidak kata santri, sebab santri tahu bedanya hormat bendera dan hormat kepada orang tua.

Banyak hal lucu dan aneh di pondok, layaknya mengada-ada. Yang mondoknya sebentar pasti percaya, apalagi yang lama. Yang tidak percaya pasti yang mondoknya hanya di Saung Kabayan atau di pondok prodeo.

Di antara hal unik dan nyaris tidak masuk akal itu adalah bahwa ada santrinya kiai yang terkadang bukan berwujud orang, melainkan mobil atau jin. Kalau enggak percaya, tanya saja kepada sebagian “petualang pesantren”, “santri kelana”, atau “santripedia” seperti Toni Pangcu. Saya tidak akan cerita tentang santri jin karena wilayah ini terlalu privat untuk dibaca publik. Soal memondokkan mobil, memang ada benar. Alasan si empunya—kira-kira kalau diparafrasa ulang redaksinya—adalah;  “Mobil ini dipasrahkan kepada Kiai agar diajak-ajak oleh Panjenangan ke pengajian. Sebab, saya yakin, Panjenengan akan mengajak mobil ini berkhidmah, seperti ke pengajian, ndak mungkin diajak pergi ke tempat tidak benar, seperti dibawa pergi ke tempat berlangsungnya rapat makar atau perjudian.”

Pernah kejadian, eh, sering malah (karena lebih dari lima kali), Kiai Jauhari dari Pace, Jember, bertandang (sowan) ke beberapa kiai di Madura. Beliau bawa rombongan dalam tiga mobil: mobil pertama dikendarai Kiai Jauhari sekeluarga, mobil kedua membawa rombongan, mobil ketiga berisi sebagian anggota rombongan dan oleh-oleh, seperti beras, kopi, sayur, dll. Ketika hendak pulang, seluruh penumpang mobil ketiga pindah ke mobil kedua. Terus, mobilnya? Ditinggal sebagai oleh-oleh, berikut semua barang yang ada di dalamnya. Aneh, ya? Tapi itu ada beneran.

Masih ada sekian keistimewaan yang ada di pesantren. Contoh: pengawasan di pondok itu 24 jam, baik secara fisik oleh pengurus maupun secara spiritual oleh pengasuh. Ini berbeda dengan di kelas yang diawasi dari pagi sampai siang atau sore saja, diawasi oleh guru, saptam, atau CCTV. Setelah anak pulang ke rumah, orangtuanya yang ganti ambil peran. Tapi, benarkah mereka sempat memantau anak sebenar-benar? Mampir di mana saja mereka ketika pulang? Malamnya, ke mana mereka keluyuran?

Eits, lama-lama, saya kok merasa sedang nulis endorsemen, ya? Oh, tidak. Ini tentang alasan mengapa Rori harus menjelaskan kepada calon mertuanya, Pak Santoso, ini dan itunya karena Pak So hanya tahu sedikit tentang hal ini

“Sebentar, Nak!” tiba-tiba Pak Santoso nyeletuk. “Intinya, apa yang sangat membedakan antara pesantren—taruhlah—dengan lembaga pendidikan lain?”

“Nganu, Pak, mmm... jaminan kepuasannya!”
“Wah, garasi? Eh, garansi? Ada garansinya begitukah?”
“Maksud saya,“jaminan kepuasan” itu begini: Di pondok, kalau mereka berhenti, biasanya orangtua tetap menyambungkan tali silaturahmi dengan kiai. Selebihnya, kiai terus mendoakan mereka sampai mati, si santri atau si kiai. Setahu saya, RAM dan VGA Card ada yang lifetime guaratee, tapi keburu RAM dan VGA-nya yang ‘mati’ duluan. Tapi, saya juga reaslitis, tentu saja, bolong-bolongnya juga banyak. Saya harus imbang agar tidak jurkam. Mari kita kupas.”

“Kalau terlalu serius mondok, biasanya anak jadi kurang aktif dalam pergaulan dengan sesamanya, apalagi sama lain jenis. Wong mau ketemu saja mereka enggak bisa. Pengalaman saya waktu mondok dulu, saya berpapasan dengan santri putri hanya ketika berangkat sekolah. Kebetulan, di pondok kami, di jalan menuju madrasah itu ada perlintasan, kayak rel kereta api begitu, tapi tanpa JPL dan penjaga, yang kalau kebetulan ada gerombolan putri yang lewat, gerombolan putra tahan dulu. Setelah mereka melintas, barulah gantian kami yang lewat, sembari mengendus-endus sisa Pucelle atau Cologne dan wangi pupur yang masih mengambang di udara yang terhirup dulu oleh hidung kami. Sementara teman kita di kampus, main ke kamar cewek terus masuk ke dalam dan boleh mengunci pintu? Pak kos diam saja? Dan, ngapain saja mereka di dalam? Wiridan? Main halma? Masak cuman main halma sampai tutup pintu segala?”

“Wah, seru juga, ya!” Pak So menyela paparan Ri.
“Iya, dong. Dan yang tidak menarik lainnya masih ada, yakni karena kalau pagi mereka mengantuk. Di kelas mengantuk, di mushalla mengantuk. Mengapa mengantuk? Karena malamnya begadang. Tapi, mereka begadang sesuai anjuran oleh Rhoma Irama, begadang yang ada perlunya, yakni belajar dan tahajud, bukan begadang demi menghabiskan jatah kuota yang bakal habis setelah fajar. Kalau begitu, nah, kapan waktu tidurnya jika bukan tidak di dalam kelas? Katanya begitu, sih.”

“Ri?”
“Ya, Pak!”
“Ternyata, jawabanmu itu menarik.”
“Lah, kan calon menantunya, Bapak, he, he, he....
“Husy....!!”
“Kalau tidak keren, mana berani saya ngelamar putrinya bapak.”
“Husy lagi... Heh, aku yang tidak pernah punya pengalaman mondok, jadi pengen mondok, sayang usiaku sudah tuwir”
“Tapi, omong-omong, janganlah Bapak ikut-ikutan jadi santri.”
“Loh, emang kenapa?”
“Lah, terus, kalau bapak yang jadi santri, terus sya mau melamar siapa?”


4 komentar:

SUBAIDI mengatakan...

Bacanya sambil senyum2. Ingat masa2 mondok

M. Faizi mengatakan...

@ Subaidi: asyiklah jika begitu

Mizan mengatakan...

Setelah membacanya, saya berdoa, semoga camer saya tidak bertanya sepanjang ini tentang pengalaman di pesantren. Sebab saya hanya mondok 3 tahun, numpang belajar atana' ka'dintoh. Hehe.

Syukron kathiran Kiai atas inspirasinya.

M. Faizi mengatakan...

@Mizan: makasih sudah membaca

Entri Populer

Shohibu-kormeddaL

Foto saya

Saya adalah, antara lain: 6310i, R520m, Colt T-120, Bismania, Fairouz, Wadi As Shofi, Van Halen, Puisi, Hard Rock dll

Pengikut

Label

666 (1) Abdul basith Abdus Shamad (1) adi putro (1) adsl (1) Agra Mas (1) air horn (1) akronim (1) Al-Husari (2) alih media (1) Alquran (1) amplop (1) Andes (1) Android (1) anekdot (3) aula asy-syarqawi (1) Bacrit (2) bahasa (5) baju baru (1) baju lebaran (1) Bambang Hertadi Mas (1) bani (1) banter (1) Basa Madura (1) basabasi (1) batuk (1) bau badan (1) bau ketiak (1) becak. setiakawan (1) belanja ke toko tetangga (1) benci (1) bis (3) bismania (2) BlackBerry (1) Blega (1) blogger (2) bodong (1) bohong (2) bolos (1) bonceng (1) bromhidrosis (1) Buang Air Besar (BAB) (1) buat mp3 (1) budaya (1) buku (2) buruk sangka (2) catatan ramadan (4) celoteh jalanan (1) ceramah (1) chatting (1) chemistry (1) cht (1) Cicada (1) Colt T 120 (1) corona virus (1) Covid 19 (1) cukai (1) curhat (5) defensive driving behavior development (1) dering (1) desibel (2) diary (1) durasi waktu (1) durno (1) ecrane (1) etiket (17) fashion (2) feri (1) fikih jalan raya (1) fikih lalu lintas (1) fiksi (2) filem (1) flu (1) gandol (1) gaya (1) ghasab (1) google (1) guru (2) guyon (1) hadrah (1) handphone (1) Hella (1) hemar air (1) Hiromi Sinya (1) humor (2) IAA (1) ibadah (2) identitas (1) ikhlas (1) indihome (1) inferior (1) jalan raya milik bersama (1) jamu (1) jembatan madura (1) jembatan suramadu (2) jenis pekerjaan (3) jiplak (2) jual beli suara (1) Jujur (3) Jujur Madura (1) jurnalisme (1) jurnalistik (3) KAI (1) kansabuh (1) Karamaian (1) karcis (1) Karina (1) Karma (1) Kartun (1) kebiasaan (5) kecelakaan (2) kehilangan (1) kenangan di pondok (1) Kendaraan (2) kereta api (1) keselamatan (1) khusyuk (1) kisah nyata (7) Kitahara (1) kites (1) klakson (1) klakson telolet (1) kode pos (2) kopdar (2) kopi (1) kormeddal (19) korupsi (2) KPK (1) kuliner (2) L2 Super (2) lainnya (2) laka lantas (1) lakalantas (1) lampu penerangan jalan (1) lampu sein (1) layang-layang (1) lingkungan hidup (3) main-main (1) makan (1) makanan (1) malam (1) mandor (1) Marco (1) masjid (1) Mazda (1) MC (1) menanam pohon (1) mengeluh (1) menulis (1) mikropon (1) mimesis (1) mirip Syahrini (1) mitos (1) modifikasi (1) money politic (1) Murattal (1) musik (1) nahas (1) napsu (1) narasumber (1) narsis (1) Natuna (1) ngaji (1) niat (1) Nokia (1) nostalgia (2) Orang Madura (1) Paimo (1) pandemi (1) pangapora (1) paragraf induktif (1) parfum (1) partelon (1) pasar (1) pekerjaan idaman (1) pemilu (1) peminta-minta (1) penata acara (1) pendidikan (1) pendidikan sebelum menikah (1) penerbit basabasi (1) pengecut (1) penonton (1) penyair (1) penyerobotan (1) Pepatri (1) perceraian (2) Perempuan Berkalung Sorban (1) perja (1) perjodohan (1) pernikahan (1) persahabatan (1) persiapan pernikahan (1) pertemanan (1) pidato (1) plagiasi (2) plastik (1) PLN (1) pola makan (1) poligami (1) polisi (1) politik (1) polusi (1) polusi suara (2) Pondok Pesantren Sidogiri (1) ponsel (2) popok (1) popok ramah lingkungan (1) popok sekali pakai (1) PP Nurul Jadid (1) preparation (1) profesional (1) PT Pos Indonesia (1) puasa (5) publikasi (1) puisi (2) pungli (1) Qiraah (1) rasa memiliki (1) rekaan (1) rempah (1) ringtone (1) rock (1) rokok (1) rokok durno (1) rumah sakit (1) Sakala (1) salah itung (2) salah kode (3) sanad (1) sandal (1) santri (1) sarwah (1) sastra (1) sekolah pranikah (1) senter (1) sepeda (3) sertifikasi guru (1) sertifikasi guru. warung kopi (1) shalat (1) shalat dhuha (1) silaturahmi (1) silaturrahmi (1) siyamang (1) SMS (1) sogok bodoh (1) sopir (1) soto (1) sound system (1) stereotip (1) stigma (1) stopwatch (1) sugesti (1) sulit dapat jodoh (1) Sumber Kencono (1) Sumenep (1) suramadu (1) syaikhona Kholil (1) syawalan (1) takhbib (1) taksa (1) tamu (2) Tartil (1) TDL (1) teater (1) teknologi (2) telkomnet@instan (1) tengka (1) tepat waktu (1) teror (3) tertib lalu lintas (28) The Number of The Beast (1) tiru-meniru (1) TOA (2) tolelot (1) Tom and Jerry (2) tradisi (1) tradisi Madura (4) transportasi (1) ustad (1) wabah (1) workshop (1) Yahoo (1) Yamaha L2 Super (1)

Arsip Blog