Kemarin, saya nemu postingan “Jurnalisme Begini” di
Facebook. Sontak saya tertawa, ingat betapa banyak berita sejenis di dunia maya. Ternyata benar, berita seperti itu sebetulnya sudah sering saya
lihat, saya temukan, tapi nyaris tidak pernah saya baca. Mungkin pernah juga
baca laporan atau berita yang begitu, tentu saja kalau ada waktu yang sangat senggang dan
kurang kerjaan saja.
Yang dimaksud Jurnalisme Begini adalah selalu adanya unsur kata “begini” (atau sejenisnya) di dalam setiap judulnya. Untuk apa? Entah, mungkin untuk merangsang rasa penasaran dari pembaca.
Adakalanya, rasa penasaran itu diciptakan dengan cara ‘tipuan’ kecil yang lain, semisal
penomoran atau pemeringkatan disusul penonjolan satu butir peringkat
tertentu, seperti “Tujuah Alasan Orang Berkunjung ke Madura, Nomor 3 Bikin Tidak
Percaya!”. Masa ada judul berita seperti ini? Ternyata memang ada, dan ternyata banyak pembacanya.
Berita itu dituturkan secara jelas. Berita itu dijelaskan dengan jelentreh. Judul tidak boleh mengandung kata bersayap. Bahasanya
tidak boleh metaforis, kecuali dengan tanda khusus, seperti penggunaan tanda
petik. Setahu saya, begitulah aturan-aturan dasarnya. Entah mengapa akhir-akhir ini kode etik sepertinya
berubah.
Latar belakang munculnya “Jurnalisme Begini” kiranya adanya anggapan pembaca kita, pembaca sekarang, dianggap seringkali punya rasa penasaran yang tinggi (kepo) terhadap berita-berita baru yang langsung menyebar cepat seperti
virus (viral). Kalau tidak penasaran, maka jurnalisme macam itulah yang akan
merangsangnya dengan judul semacam itu. Nah,
agar pembaca penasaran, maka dipasanglah “begini” di judul, tapi umumnya tidak segera
dijelaskan dalam paragraf-paragraf awal.
Contoh judul:
"Prabowo Menolak Duet Dengan Nissa Sabyan. Jokowi Bilang Begini"
"Seorang Blogger Bikin Berita Jurnalisme Begini. Ini Komentar Netizen
Contoh judul:
"Prabowo Menolak Duet Dengan Nissa Sabyan. Jokowi Bilang Begini"
"Seorang Blogger Bikin Berita Jurnalisme Begini. Ini Komentar Netizen
"Jomblo Semangkin Meningkat di Tahun Politik. Begini Tanggapan Syaharini."
***
***
Sebetulnya, YouTube pun sama saja, hanya gayanya berbeda. Di YouTube,
orang lebih suka gaya “yang paling”, “yang
ter” dan model “pemeringkatan”. Contoh: Sepuluh Masakan Terlezat di Dunia",
padahal, ya, enggak juga, makanannya yang itu-itu juga. Harapan pemberitaan model ini adalah naiknya jumlah
penonton dan pengikut (subscriber) karena ia akan berhubungan dengan iklan dan/atau monetasi.
Ada-ada saja orang cari kelakuan, eh, cari pekerjaan!
3 komentar:
Ada 13 alasan kenapa belakangan saya jarang nulis di blog. Urutan 11 sungguh seperti tak masuk akal. Lengkapnya begini.
Dan pasti itu di opera news dan sejenisnya, hehe....
@ Edwin: ha, ha, ha. Sungguh ini kumintar yang mimang dan lamtas
@ Marom: apakah yang dimaksud opera news itu? saya kurang mengerti
Posting Komentar