Kita sering melupakan jasa. Ketika kita nambal ban sepeda motor/mobil, kita membayar sesuai yang diminta, dan merasa itu sudah impas. Kita tahu, begitulah harga sesuai ongkos, padahal di sana ada nilai jasa yang sebetulnya sangat besar, tak terhitung, lebih-lebih ia merupakan suatu perkara yang tidak dapat kita lakukan sendiri. Contohnya adalah nambal ban. Ini beda dengan—misalnya—mengelap kaca atau mencuci mobil. Kita minta tolong orang mencuci dan membayarnya meskipun kita sebetulnya bisa melakukannya sendiri.
Adakalanya, saya datang ke bengkel ketika mesin mobil tidak
sedang rusak. Semua itu saya lakukan agar tidak datang hanya ketika punya
masalah, macam orang pergi ke Pegadaian saja! Datanglah ke bengkel ketika mobil
atau motor kamu tidak sedang rusak. Datanglah dalam keadaan bahagia dan sapa
dia.
Saya punya beberapa cerita terkait ini. Berikut di
antaranya.
Pernah di suatu malam,
saya pulang dari kediaman K. Ali Wafa. Jam sudah menunjukkan pukul 23.00.
Ketika sedang asyik-asyiknya bermanuver di atas jalan beraspal penuh kubangan
dengan sepeda motor 100 cc Astrea Prima, tiba-tiba ada sesuatu yang aneh,
berasa ganjil. Tapak motor tidak stabil.
Benar, ban belakang mengalami bocor halus dan sekarang sudah
mulai kempes. Sisa angin di dalam ban nyaris habis. Saya tuntun sepeda motor
agak jauh. Untung, di depan sana ada warung kopi yang sekaligus buka jasa tambel
ban. Saya memberanikan diri menguluk salam, meskipun kurang elok rasanya karena
hari sudah larut malam.
Seorang lelaki keluar. Dia sudah jelas tahu, tamu tengah
malam begini tidak sedang darurat ngopi, tapi pasti darurat nambal ban.
“Saya mau ngisi angin, Pak. Ban bocor halus. Isi saja 50 bar
biar meskipun bocor masih bisa tahan sampai ke rumah,” kata saya.
“Tanpa babibu, dia mengeluarkan selang kompresor dan bekerjalah
dia dengan cekatan. “Sudah”
“Berapa?”
“Bawa saja, tidak perlu!”
Yang pertama terlintas di benak saya tentu saja saya senang:
ban sudah isi angin dan tidak perlu membayar. Sebetulnya, andai ongkos dibayarkan
mungkin hanya 2000, tapi yang paling penting bukan karena si bengkel menyedekahkan
2000 itu kepada saya, orang yang tidak ia kenal. Yang lebih di atas itu adalah
karena dia telah meluangkan waktu untuk membantu orang yang sedang susah di tengah
malam.
Tapi, saya juga pernah mengalami hal yang berkebalikan. Pernah
suatu saat, ketika saya sedang mengemudikan sedan Mazda tua milik kakek. Mobil mogok
mendadak, persis depan sebuah bengkel. Kala itu sudah sore, tepatnya hari Kamis
sore. Saya harap, saya bisa sampai di rumah sebelum maghrib. Malam jumat
mestinya “munajat”, tapi ini malah “mumogok”.
“Pak, minta tolong mobil saya ini, mogok.”
Si istri yang keluar, bapak tetap di dalam. “Maaf, Pak.
Kalau malam jumat kami tidak buka.”
Betapa sedih kalau ingat waktu itu, bahkan saya sampai lupa
seperti apa nasib saya sesudahnya. Mau marah tapi untuk apa, mau merutuk tapi
apa gunanya. Yang bisa saya renungkan adalah betapa mahalnya jasa seorang bengkel
di saat seperti itu. Alangkah mulia pekerjaan mereka. Dalam kasus di atas, yang
terakhir, alangkah berat menimbang makna dan pahala ketika seseorang dihadapkan
pada persoalan “ibadah horisontal” (menolong sesama manusia) di hadapan urusan “ibadah
vertikal” (bermunajat kepada Tuhan).
Tiba-tiba saya ingat Pak Sander, seorang tukang tambal ban
(semoga tenang arwahnya di alam sana). Beliau sering dibangunkan tengah malam
oleh orang yang sedang mengalami pecah ban. Beliau pun bangun dengan muka
tenang, tak bersungut, apalagi sambil merengut.
“Bapak itu, sebelum menambal ban, biasanya memasakkan kopi
dulu buat si tamu supaya mereka tidak bosan saat menunggu,” tutur anaknya
kepada saya, suatu hari.
“Tapi, kadang balasan orang tidak sama. Beberapa kali ada orang yang pura-pura lupa tidak bawa duit dan dia tidak pernah membayarnya, bahkan hingga ayah meninggal dunia. Tapi, ayah saya biasa saja, tidak pernah mengungkit dan mempermasalahkan yang begitu itu.” Imbuhnya.
“Tapi, kadang balasan orang tidak sama. Beberapa kali ada orang yang pura-pura lupa tidak bawa duit dan dia tidak pernah membayarnya, bahkan hingga ayah meninggal dunia. Tapi, ayah saya biasa saja, tidak pernah mengungkit dan mempermasalahkan yang begitu itu.” Imbuhnya.
***
Begitulah manusia dan kemanusiaan. Manusia itu, ya, manusia.
Akan tetapi, tidak setiap manusia punya himmah kemanusiaan yang sama. Ada yang
asyik sendiri, ada yang asyik dengan Tuhannya. Ada pula yang asyik dengan
tuhannya lewat munajat, tapi juga selalu asyik dengan sesama manusianya dalam
membantu.
Anda jenis yang mana?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar