Saat mau melakukan shalat ta’khir magrib-isya di masjid Baiturrahman,
Dumajah, saya bersirobok dengan papan pengumuman yang, dipasang di sana-sini.
‘Oh, ada banyak sekali peraturan di masjid ini rupanya,’ kata saya dalam hati. Petaraturan-peraturan
tersebut ditempel di kamar mandi, toilet,
dan areal parkir.
Peraturan-peraturan
sejenis sudah Anda lihat di masjid yang lain, bukan? Misalnya, anjuran “jagalah
kebersihan masjid kita bersama” dan “sandal harap dilepas” itu standar sekali,
biasa saja, sebagaimana anjuran “Hati hati dengan barang bawaannya” (yang
sebetulnya bisa dibetulkan redaksinya menjadi hati-hati [terhadap] barang
bawaan Anda).
Namanya saja iseng, maka saya amati satu per satu. Ternyata, peraturan-peraturan tersebut berisi larangan dan anjuran yang sifatnya keseharian, yang kalau saja kita pikir lebih jauh, sebetulnya kita tak perlu lah sampai diatur sebegitu jelimetnya macam begitu sehingga peraturan seperti itu ditempel di tempat umum.
Masalahnya,
publik alias masyarawakat awam, eh, umum itu memang tidak suka berpikir
panjang. Sukanya tindak cepat, pikir belakangan; ikuti yang sesuai keenakan,
dampak urus belakangan.
Berikut beberapa pengumuman (larangan/anjuran) yang saya amati dan saya komentari:
“Jangan membuang popok/pampers sembarangan”
Lha, iya jelang,
Dos. Masa kita mau buang popok sembarangan. Tidak dibuang sembarangan pun,
kalau si popok dekat sama hidung kita, baunya tidak sedap. Bayangkan jika
lokasi pembuangan popok secara sembarangan itu berlokasi di dekat masjid, di
dalam toilet atau bahkan dekat tempat ambil wudu pula, kan cilaka. Alangkah
betapanya tindakan seperti itu, dan betapa-alangkah-betapanya jika di dalam
popok tersebut masih pula ada ee’-nya.
“Buanglah sampah
pada tempatnya”
Ini anjuran dan
pengumuman paling top se-Indonesia, dipasang di mana-mana. Teks seperti ini
lazim kita lihat. Namun, andai saja kita sedikit berpikir, kita bisa bikin
lebih baik, misalnya dengan mengganti redaksi menjadi “Jangan mudah bikin sampah!”.
Coba pikir, sampah yang dibuang ke tempat sampah tetaplah menjadi sampah, cuman
tidak kelihatan dari depan mata dan tidak berceceran, kan? Itu saja
keunggulannya.
“Setelah pakek
air, harap ditutup kembali”
Ini juga,
termasuk pengumuman yang tidak masuk akal bagi orang-orang di luar sana. Bukan
karena redaksi bahasanya yang rancu (tanpa menyebut kata ‘kran’), melainkan karena
menunjukkan ada orang yang suka membuka kran dan tidak peduli untuk menutupnya.
Memang benarkah ada orang yang tidak
peduli pada kran air yang terbuka sementara jeding sudah penuh dan meluap? Ada,
dong, pastinya ada. Orang ‘genre’ seperti ini bernama genre absurd. Yang lebih
tidak masuk akal daripada dia adalah dia yang ketika buka kran dan tak ada air,
kran dibiarkan tetap terbuka (padahal semula tertutup, dia saja yang membuka).
Ketika dia pergi, air dinyalakan oleh takmir, dan meluaplah jeding. Dia tidak
tahu. Takmir tidak tahu.
“Dilarang mencuci
mobil/ganti ban di area masjid tanpa terkecuali”.
Saya kira,
pengumuman ini termasuk yang paling ganas, savage, yang mungkin dibuat
dengan begitu emosional oleh si takmir masjid. Bagaimana mungkin ada tamu
masjid yang dengan begitu santuy-nya memperlakukan halaman masjid ibarat
bengkel vulkanisir dan/atau tempat cuci salju?
“Tidur di ruang
ganti”
Yang ini bukan
pengumuman, tapi kejadian. Memang, tidak ada plakat atau panjelasan apa pun bahwa
area khusus di bagian selatan masjid tersebut adalah tempat kaum hawa ganti
baju atau mengenakan mukena atau rukuh. Akan tetapi, adanya perlengkapan alat salat
wanita, adanya tabir pemisah, sudah cukup jadi penanda bahwa petak itu bukanlah
tempat untuk tidur, lebih-lebih bagi cowok. Kalau area itu ditempati orang
tiduran, laki-laki pula, terus ibu-ibu dan mbak-mbak mau ganti baju dan pakai
mukenanya di mana? Di toilet?
Dengan demikian, kesimpulannya,
hal-hal yang sangat receh dan sederhana seperti ini sebetulnya tidak perlu
dijadikan pengumuman, sebab kita mestinya harus tahu dan harus tahu diri
bagaimana kita mesti bersikap di tempat umum. Lalu, mengapa bang takmir masjid
sampai-sampai harus bikin pengumuman sebanyak itu? Dugaan saya karena dari
saking banyaknya orang yang tidak peduli dan dengan asyiknya melakukan tindakan
semena-mena.
Walhasil, kita
itu sudah cukup banyak lah punya pakar dan intelektual, ahli, dosen-dosen,
pemikir-pemikir, kiai-kiai, dan dai-dai, namun masih sangat kekurangan terhadap
stok remaja dan papa-papa muda yang tidak malas berpikir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar