Beberapa waktu yang silam, saya membaca beberapa kali ke-kormeddal-an berita di sebuah koran. Sayang, saya baru sempat menulisnya sekarang. Saya tidak perlu menyebut nama koran dan kode/nama(-nama) wartawan tersebut. Anggapalah ini sebuah fragmen, sebuah cerita tutur yang dituliskan:
Sang wartawan menulis berita bertema lingkungan hidup. Dia menulis "green force", padahal maksudnya "green peace" (saya ngerti karena yang pertama itu julukan Persebaya, sedang yang terakhir LSM).
Di lain kesempatan, pada berita tentang terbaliknya sebuah kapal cepat di perairan Sepudi (?), dalam berita tertulis "speed board" untuk "speed boat" (tahu, kan? Yang pertama itu papan luncur beroda, sedangkan yang kedua itu terjemahan Inggrisnya kapal cepat).
Lagi-lagi, wartawan bernasib malang ini menulis berita ringan tentang kegemaran remaja zaman sekarang dalam hal memodifikasi sepeda motornya. Dia menulis "shock biker" pada saat tidak seharusnya dia bermain plesetan pada frase "shock breaker".
Semua ini, dalam sementara anggapan saya, disebabkan oleh dominasi budaya nguping. Akibatnya, nulis berita pun kormeddal alias waton alias kor-ngocol alias asmuni (asal muni) alias asbun (asal bunyi). Berita pun menentang hukum berita: peristiwa terjadi di lapangan, bukan di meja redaksi.
WASPADALAH!!
Hati-hati dengan mazhab kormeddal. Karena kormeddal seperti senjata: berbahaya hanya di tangan yang tidak berpengalaman!
Sang wartawan menulis berita bertema lingkungan hidup. Dia menulis "green force", padahal maksudnya "green peace" (saya ngerti karena yang pertama itu julukan Persebaya, sedang yang terakhir LSM).
Di lain kesempatan, pada berita tentang terbaliknya sebuah kapal cepat di perairan Sepudi (?), dalam berita tertulis "speed board" untuk "speed boat" (tahu, kan? Yang pertama itu papan luncur beroda, sedangkan yang kedua itu terjemahan Inggrisnya kapal cepat).
Lagi-lagi, wartawan bernasib malang ini menulis berita ringan tentang kegemaran remaja zaman sekarang dalam hal memodifikasi sepeda motornya. Dia menulis "shock biker" pada saat tidak seharusnya dia bermain plesetan pada frase "shock breaker".
Semua ini, dalam sementara anggapan saya, disebabkan oleh dominasi budaya nguping. Akibatnya, nulis berita pun kormeddal alias waton alias kor-ngocol alias asmuni (asal muni) alias asbun (asal bunyi). Berita pun menentang hukum berita: peristiwa terjadi di lapangan, bukan di meja redaksi.
WASPADALAH!!
Hati-hati dengan mazhab kormeddal. Karena kormeddal seperti senjata: berbahaya hanya di tangan yang tidak berpengalaman!
8 komentar:
Hmmm... sayap panjang dan lebar untuk membawa terbang tubuh yang sehat, padat, dan --tentu saja-- bermanfaat...
Muge komentar e attas bnni kor-meddal...
di dewan juga beredar istilah kleru seperti diatas; tolAk ukur yang mestinya tolOk ukur, pasCa dibaca pasKa, bahkan senin kemarin ada fraksi menyebut baldatun toyyibatun ghafur padahal mungkin maksudnya wa rabbun ghofur. istilah itu biasanya muncul saat laporan Fraksi2 atau komisi.
Terlalu cepat mengambil kesimpulan sepertinya juga sudah sangat membuda. Top-markotop
"Membudaya' maksudnya. Aduh! saya jadi masuk kategori orang kormeddal, nih. He he he
Wah..Saya merasa tersindir tuch..
Maunya gaya-gayaan, dak taunya haselah salbut...
Saya mau nambahkan: maunya nulis "global warming", tapi ditulis "global warning". Itu ditulis di judul lho, dan di isi beritanya juga. Beda satu huruf, tapi artinya jauh.
Ada juga sih yang ga beda jauh maksudnya. Di judul ditulis "Abdul Wahid", di keterangan foto yang ditulis dengan huruf besar-besar dan bold ditulis "Abdul Wahed".
Tapi yang namanya wartawan kan mestinya AKURASI ada di nomor satu ya..
Saya paling suka ungkapan berikut: "Hati-hati dengan mazhab kormeddal. Karena kormeddal seperti senjata: berbahaya hanya di tangan yang tidak berpengalaman!" Hahahahahaha.
Posting Komentar