Hari Sabtu 19 April 2008, jam 6.40, dengan mengendarai Supra M-3071-E, aku berangkat ke Pamekasan. Tujuanku adalah Bagandan.
Dari arah Prenduan menuju Pamekasan, aku melaju dengan kecepatan rata-rata: 60 KM per jam. Dan sekitar jam 7.15, aku nyampe di masjid Tentenan. Di depanku ada L.300 pick up, sementara di belakangku ada Akas Asri jurusan Banyuwangi. Belakangan aku sudah mengantongi nopol bisnya, cuma tidak dipasang di sini karena khawatir menimbulkan fitnah.
Sebelum tikungan, aku mendahului pick up. Dari spion, aku melihat bus Akas itu juga menyusul. Bus itu mendahului L.300 bak terbuka itu tepat sebelum tikungan. Betul firasatku, persis selepas tikungan, Akas langsung menyalipku. Namun, dari arah berlawanan, melaju kendaraan lain. Bus mepet ke dalam, dan lebih ke dalam lagi karena ada pattoq, pemisah jalan tidak permanen yang diletakkan di tengah marka jalan untuk kepentingan amal pembangunan masjid.
Aku kelabakan karena bodi kendaraan besar beroda enam itu sudah tinggal 2 jengkal lagi menyentuh stang stirku. Daripada kena sikut kendaraan berbobot kosong 8 ton-an itu, aku langsung mengambil kesimpulan untuk turun ke tanah. Beberapa meter dari aspal, aku jatuh, meluncur seperti Drogba atau Ibrahimovic saat melakukan perayaan, terjun di atas rumput usai mencetak gol ke gawang lawan. Sayang, saat itu tak ada gol!
Persis di depan pintu gerbang gudang, arah tenggara Wartel Hemat, aku tengkurap di atas rerumputan basah. Beberapa orang pekerja di gudang seberang jalan bermunculan. Mereka menawariku duduk. Kukira mereka akan menyuguhkan segelas air atau secangkir kopi, eh, malah betadine. Rupanya mereka tahu kakiku memar, sedikit luka..
Sepuluh menit berikutnya, aku berangkat melanjutkan perjalanan.
Tiba di Bagandan, aku langsung ke wartel: menelepon terminal Ceguk untuk menanyakan Akas Asri itu. Ternyata, menurut petugas terminal, bus tersebut hanya parkir sebentar dan langsung berangkat. Tapi, aku tetap berangkat menuju terminal.
Tiba di sana, ada Akas NNR jurusan Surabaya yang biasanya dikemudikan oleh Agus Supriyono (Pak Pri). Sayang, ketika itu Pak Pri tidak mengemudi. Aku menjumpai P.Harto dan P.Zainal, kondekturnya. Aku bilang kepada mereka bahwa bus yang berangkat sebelum mereka itu hampir saja mencelakaiku, barusan. Kepada mereka aku berpesan, tolong hal ini disampaikan kepada pengemudinya, pada Si Sumaryono itu; aku bukan hendak menuntut, hanya sekadar untuk diketahui agar menjadi pelajaran.
Akan tetapi, di sisi lain, aku berpikir bahwa bis itu mepet kiri karena menghindari pemisah jalan. Mestinya, jalan raya itu harus bebas dari rintangan yang dibuat untuk mengurangi kecepatan laju kendaraan. Masyarakat setempat memasang itu untuk amal masjid. Karena alasan ini pula aku tidak apresiatif pada proyek minta amal pembangunan masjid yang ada di jalan raya. Di samping kurang elok, juga mengganggu dan membahayakan lalu lintas. Aku salah satu korbannyua.
Demikianlah kisahku di hari Sabtu yang kelabu: black sabbath, negro sabado!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar