26 Desember 2008
Beberapa Hal Tentang Madura 1
Pertama; dari beberapa anekdot yang saya yakini "asli Madura" (karena menurut teori folklor, biasanya anekdot muncul di berbagai tempat dan hampir sama), tema paling populer adalah tema "keras kepala" alias cengkal (anekdot-anekdot ini sedang saya kumpulkan dan insya Allah akan diterbitkan).
Masih agak serius: kebanyakan struktur bahasa Madura yang menggunakan predikat transitif (butuh objek) dibentuk pasif alias bina' majhul. Dagghi' epapeyyar bi' sengko' (nanti dipukul oleh saya) dan bukan sengko' mapeyyar daggi'. Kata Pak Akhmad Sofyan, pakar Bahasa Madura, terjadi salah kaprah yang biasanya ditunjukkan oleh penata-penata acaa. Mereka menggunakan bahasa Madura tetapi dengan logika Bahasa Indonesia. Maka, seharusnya kita berkata "Se Kapeng duwa', Keae Marzuki se emolja agi sareng badan kaula" (yang nomor dua, yakni Kiai Marzuki yang dimuliakan oleh saya) dan bukan "Se badan kaula amolja agi, Keae Marzuki…" (Yang saya muliakan, Kiai Marzuki….)
Tidak serius: lagu Pelangi versi Madura: "Merah kuning biru, di langit yang biru". Ini anekdot yang dibuat orang untuk inferioritas orang Madura. Banyak orang menganggap orang Madura buta warna. Orang Madura tidak punya warna dasar “hijau” karena hijau disebut “biru”. Padahal, menurut A. Latief Wiayat, sebutannya bukanlah “biru”, tetapi “bhiru” (dengan ‘b’ yang ditebalkan) untuk arti “hijau”. Jadi, kebetulan saja bunyinya mirip. Begitu deh apologinya.
Dalam menandai barang/produk, orang Madura sulit menyebut nama produk/mereknya dengan benar. Mereka cenderung membuat definisi berdasarkan cirinya. Contoh, tape recorder “JVC te' pette' salekor”, yaitu JVC 21 tombol, tape recorder lawas yang dilengkapi amplifier dan mikrofonnya. Sebutan di atas mengacu pada 21 tombol pada tape itu.
Orang Madura agak sering korupsi penamaan: ngongol-ngongol jadi ngol-ngongol (he..he..), Mitsubishi L-300 disebut L-3 (el-tello'), STNKB dibilang STN.
Mereka juga gemar membikin singkatan (nama inisial kedua orang tua) dengan cukup dua hurup di belakang namanya: Madani MH, Halili KN, Suhaidi RB, dan seterusnya.
Orang Madura paleng angko (punya nyali): berani mengklaim kopi dengan mengatakan "Kopi Madura" meskipun di Madura tidak ada kebun kopi. Mereka juga berani jual bensin di depan pom bensin!
Mereka sangat takut pada Polisi. Beberapa kali saya melihat orang tua yang selalu memakai “bhasa alos” (bahasa Madura tinggi) meksipun polisinya lebih muda dan “abhasa mapas” atau menggunakan Bahasa Indonesia. Atau, polisi mudanya itukah yang kurang ajar, ya? Sudah tahu si bapak tua pakai “bhasa alos”, masih saja dia pakai bahasa iya-enja’ (kelas terendah/kasar).
Orang Madura petualang sejati: mereka mendirikan kota Toronto (aslinya Ronto-Ronto) di Kanada; mendirikan kota Madura di India; serta mendirikan klub sepakbola di Spanyol (yang saat ini berada di liga segunda), yaitu klub ExtreMadura!
Orang Madura punya kosa kata paling ringkas yang harus dijabarkan dengan panjang lebar dalam bahasa Inggris maupun bahasa Arab: "parobha?" yang artinya kurang lebih "Anak (Anda) itu berjenis kelamin laki-laki apa perempuan?".
Mereka juga punya jualan aneh yang disebut tembakau: Mengapa aneh? Harganya ditentukan oleh pembeli!
Gitu dulu. Ambu kah, lebile pole. Ya' la malem. Katondu!
22 Desember 2008
Langit Kota dan Langit Desa
Baru 3% rahasia benda-benda langit yang dapat dikuak, selebihnya masih tetap menjadi rahasia. Angka itu adalah angka penelitian, bukan angka bagi kita yang mendongak ke langit di waktu malam dan memandang dengan mata telanjang.
Ayolah, nikmati keindahan malam dengan langit berbintang. Jika Anda telah menjadi penduduk kota Surabaya atau Jakarta, Anda akan kehilangan kesempatan itu. Langit kota besar telah dipenuhi oleh polusi udara dan polusi cahaya. Di kota, Anda hanya dapat melihat simulasinya, itupun jika ada duit untuk bayar tiket masuk planetarium atau punya komputer dan software astronomi/antariksa seperti Celestia dan Starry Night Backyard.
Kok serius...???
:: M. Faizi ~Guluk-Guluk~
20 Desember 2008
MATA UANG RUPIAH YANG (LEBIH) BARU
"Siapa tahu Anda kehabisan tema pada saat Anda membutuhkannya nanti tengah malam nanti saat Anda asyik menyolder sementara toko suduh tertutup rapat. Sedia tema sebelum menyolder, bukan?" Mungkin demikianlah ungkapan yang ada di dalam benak si penjual.
Sore ini, mata uang rupiah yang baru bertambah lagi: "tema" .
17 Desember 2008
SUDAH BEKERJA?
Ibu kos menyuguhkan sepiring kue dan segelas kopi instan (komentar adikku; kopi instan sejenis coffeemix ini sih bukan kopi, tapi lebih mirip sirup) yang hampir terasa hambar karena kebanyakan air. Aku menyeruputnya sambil bercerita ini-itu tanpa tema pembicaraan.
Suasana menjadi kurang asyik ketika Ibu Kos bertanya, "Sudah bekerja?''
Apa yang mesti kujawab? Aku sudah akil-baligh. Aku tahu, yang dimaksud ''bekerja'' oleh Si Ibu ini adalah ''menjadi PNS'', atau: duduk di sebuah ruangan, datang setiap hari, melakukan aktivitas yang sama selama sepekan, berlibur bersama anak bini di hari Ahad, dan menerima gaji di akhir bulan.
"Pekerjaan saya banyak, Bu!'' jawabku. Si Ibu tersenyum, bukan tanda bahagia, melainkan karena tidak paham. ''Bekerja'' dan ''pekerjaan'' dibentuk dari akar kata yang sama, ''kerja''. Namun, pengertiannya, apalagi dalam konteks pembicaraan ini, tetaplah berbeda.
Pada saat itu, terbayang olehku, saat melintasi rumput setinggi lutut, di jalanan setapak berkelok dan licin, di bawah gerimis, tanpa senter dan payung, bersama rasa cemas akan pagutan ular, untuk datang ke acara sarwah. Itulah salah satu ''pekerjaan''-ku setiap Senin malam setengah bulan sekali.
Sedih..
Kudengar ada orang yang menjual kunci jawaban seharga 26 juta pada saat tes ''Calon''-PNS kemarin. ''Calon'' saja dibeli 26 juta. Orang nekat seperti ini jelas karena dia punya mertua seperti ibu kos-ku, atau ingin kos di tempat kosku dulu, lalu pula kampung, dan setelah bertahun -tahun kemudian akan bertamu pada ibu kosnya, sehingga mantab menjawan saat ditanya, "Sudah bekerja?''
Deja Vu !!
16 Desember 2008
PA' LOPA'
Siang ini aku ikut pembukaan acara Kongres I Bahasa Madura di Pendopo Ronggosukowati Pamekasan. Saat mendaftar ulang tadi siang di pendopo wabup, tor-ator-nya (hidangan) berupa makanan khas; seperti kocor, krupuk tanggug dan juga tajin dengan minuman poka'. Ya, andai yang disuguhkan hanya teh dan kopi, mungkin aku mengeluarakan rokok Liem Seeng Tee (234). Tapi karena ada poka', kukeluarkan juga itu pa' lopa'.
''Kita adalah apa yang kita bawa,'' demikian tadi kubilang pada teman duduk. Jika kita membawa laptop, orang yang melihat kita akan langsung mengidentifikasi kita dengan hal-hal yang berhubungan dengan laptop (meskipun laptop pinjaman), seperti aktivis sosial, peneliti, penulis, dll., dan bukannya nelayan tradisional atau petani. Jika kita bawa Toyota Alphard untuk beli sayur di pasar, maka kita akan dianggap orang sebagai tajir yang tidak saja mampu membeli berton-ton sayuran, melainkan juga mampu membeli pasar itu sendiri.
Nah, bagaimana jika kita bawa pa' lopa' yang kita keluarkan dari gulungan sarung? Kita akan dianggap udik (ngadhisa)? Mungkin iya, karena itu anggapan umum. Tapi jangan salah, mungkin ada orang yang turun dari Nissan Serena dan mengeluarakan pa' lopa' dari gulungan sarungnya. Karena tembakau dalam pa' lopa' itu adalah tembakau Jambangan; tembakau terbaik dimuka bumi ini... (ini-nya Madura).
Apa kabar pa' lopa'?
13 Desember 2008
BIAR SALAH ASAL CEPAT
Di pagi yang tidak cerah ini, ada dua orang ibu-ibu muda bertengkar, dari balik pagar rumah mereka setinggi dada, saat mereka sama-sama menjemur cucian (sekali lagi: di bawah sinar matahari yang tidak cerah itu).
Ibu KESATU (beberapa dialog sebelumnya dipangkas karena tidak layak dibaca oleh masyarakat umum, terutama anak-aanak):
"Kamu itu, jelek, gak pernah ngurus ke mana suami ngelayap. Tahu ndak, gara-gara kamu yang vegetarian, dia babat semua tanaman di pagarku buat lalapanmu..''
Ibu KEDUA:
"Emang cuma suamiku yang gak beres? Suamimu juga kok. Dia sering menggoda anakku. Untung saja anakku pemberani. Dia goda balik tuh suamimu.."
Pada saat itu, ada ibu KETIGA datang mendekat. Sebenarnya, si Ibu KETIGA ini ingin melerai diskusi pagi yang tampaknya akan menjurus ke ''acara jambak-menjambak rambut'' itu. Tapi, ia menegur hanya sebatas begini.
"Idih… idih… ada apa ini? Pagi-pagi sudah senam mulut. Kenapa gak jadi komentator sepakbola saja. Kan enak?"
Kedua ibu yang bertengkar itu sama-sama menoleh pada ibu KETIGA.
Ibu KESATU:
"Ini, Teh, si cerewet ini bilang suami ane suka ngelayap!"
Ibu KEDUA:
"Lho, emang demikian kok, Teh, suami si jelek ini suka gitu, kok…"
Tapi, hanya segitu saja. Sebab, kedua ibu itu kembali melanjutkan sepak mulut-nya.
Ibu KESATU:
"Ah, kamu itu, Jelek, urus suamimu itu biar gak ngelayap cari daun muda lagi. Kalau begini caranya, ini sih bukan pagar makan tanaman lagi namanya, tapi PAGER makan HANDPHONE"
Ibu KEDUA:
"Kamu itu yang jelek, mana mungkin bisa ngurus suami. Aku aku kan pintar merawat diri. Tuh liat, muka sendiri saja harus didefrag!"
Ibu KESATU:
"Eh… eh.. sembarangan ngomong! Muke lu itu yang jelek. Tau nggak, MUKE GUE ITU KAYAK PANTAT LU!"
Ibu KETIGA terkejut, ia mencoba menjadi wasit yang bijak.
"Eits, salah, Bu! Yang betul, seharusnya kamu bilang: "MUKE ELU KAYAK PANTAT GUE" kok malah dibalik-balik…"
Ibu KESATU: "Biarin, Teh! Yang penting cepet. Pokoknya nggak keduluan dia. Soal salah atau benar itu urusan belakangan! Toh dia juga paham kok maksudnya...''
11 Desember 2008
OLEH-OLEH KE JAKARTA
Rombongan berangkat, mengendarai bis berplat merah dengan no.pol M-7001-VP dan berlogo kuda terbang Sumekar di sisi logo Mercedes Benz Royal Coach-E. Bus dengan tipe mesin Mercy-1518 buatan 2001 ini berangkat dari depan TK Bina Anaprasa sekitar jam 7.30 waktu tidak di tempat.
Di antara kerumunan orang yang sibuk memasukkan barang ke bagasi, kulihat ada Pak Amir juga ngangkut dua tandan pisang dan menyelinapkannya di sana. Tidak hanya pisang, mungkin ada juga nangka atau labu di situ sesuai dengan apa yang dikatakan oleh K.Syamli Muqsith selaku kordinator rombongan kepada wartawan Kormeddal, "Ya, kami akan bawakan pisang, nangka, dan juga labu untuk Acu, selaku tuan rumah kami di Parung!"
Itulah oleh-oleh khas produk desa kepada keluarga yang ada di kota.
Hari ini beda dengan seminggu yang lalu, saat aku pulang dari Jakarta naik Kramat djati. Yang manarik, ada orang kota (yang kerja sebagai penjaja sate keliling di Jakarta) membawa buah kelapa dan ayam ke desanya di Sampang. Itukah oleh-oleh khas kota yang akan dibawa ke desa? Pak Husnan ini [jika tak keliru dia bernama demikian; aku belum sempat ngecek KTP-nya sih, karena kebetulan saat itu seragam POL-PP milikku sedang dicuci] mungkin punya pikiran seperti Paul Ricoeur, bahwa oleh-olehnya sebagai simbol, bukan sebagai metafor. Dalam simbolisme, akarnya menghunjam pada realitas. Simbolisme dalam ayam dan kelapa Pak Husnan ini juga mengacu pada "oposisi identitas berhadapan" (aku juga tak paham ini istilah apa?? He..he…) yang relatif memunculkan makna baru dalam setiap pembacaan. Sementara jika ayam dan kelapanya dia beli di Bangkalan dan dibawa ke rumahnya di Galis, maka oleh-oleh dari Jakarta itu sudah menjadi "metafor" yang usianya dipendekkkan oleh kekerapan dan peristiwa. Kelak, ketika orang-orang Sampang membeli "Nasi Uduk Khas Jakarta" di kota Bangkalan dan di bawa pulang sebagai oleh-oleh, jadilah ia dead metaphor!
dan …… DORR!! matilah puisi itu perlahan-lahan!
Saya berandai-andai, kalau saja K.Syamli bertemu dengan Pak Husnan dari Galis yang pulang bawa nyiur dan ayam dari Jakarta itu, akan terjadi percakapan seperti ini,
K.Syamli: "Pak, Sampeyan kok bawa ayam dan kelapa ke Madura dari Jakarta. Di Madura kan sudah banyak ayam dan kelapa. Harganya pun pasti lebih murah!"
Pak Husnan, "Kalau beli di Madura kan jadi ayam Madura, Mas, bukan ayam Jakarta. Nah, kalau yang saya bawa ini, ayam dan nyiur dari ibu kota."
K. Syamli: "Ya, tapi, ternak ayamnya kan juga di desa, Pak? Paling-paling, ayam dan nyiur yang Sampeyan bawa itu juga dari desa di Sukabumi atau Cianjur.."
Pak Husnan, "Memang betul, Mas. Setelah masuk Jakarta, ayam desa pun juga ganti KTP. Dan ayam yang saya bawa ini sudah ber-plat "B". Coba Mas lihat, kendaraan plat B itu jelek dikit sudah dioper ke desa-desa, dan di desa masih kelihatan keren. Tul Gak?"
K.Syamli, "Ya…ya….. begitu ya…. Oke deh," K.Syamli mengangguk-angguk.
Pak Husnan menatap K.Syamli, "Sampeyan bawa oleh-oleh apa ke Jakarta?"
K.Syamli, "Kami bawa pisang, nangka, dan labu. Kami panen dari kebun sendiri. Di Jakarta pasti mahal..."
Pak Husnan, "Oooo, ndak juga. Yang mahal paling cuma pisang itu!"
K.Syamli, "Loh, kok, bisa?"
Pak Husnan, "Di Jakarta tidak ada Pondok PISANG soalnya. Belinya harus ke supermarket. Kalau nangka dan labu sih di sono itu tempatnya."
K.Syamli, "Di sono? Sono mana?"
Pak Husnan, "Ya, di sono, di Jakarta, tepatnya di Pondok LABU dan ci-NANGKA!"
07 Desember 2008
ADA STAVOLT MAIN BOLA
Saya dikibuli seorang kawan, anggap saja namanya Bihrul. Dia bilang kalau pemain sepakbola Asia yang merumput di Eropa termahal, ketika itu, bernama Nakata. Dari namanya sudah dapat diduga dia berasal dari Jepang. Kata si Bihrul ini, "Nakata ditransfer dengan harga "26 Midfield".
Saya tidak banyak tahu sepakbola. Yang saya tahu "mid" merupakan kependekan dari "midlle" dan "field" berarti halaman, sehingga saya mengira kalau "midfield" itu kira-kira berarti "berada di tengah halaman (tengah lapangan). Tapi, yang bikin penasaran, kenapa cuma seharga "26"? Apakah nilai "26" sudah cukup mahal? Sedemikian hebatkah nilai tukar "midfield" itu beradu dengan Dolar arau Euro? Mata uang manakah "midfield" itu?
Saya yakin si Bihrul ini ngibul, ndak beres kalau dibilang midfield itu mata uang. Pasti itu posisi gelandang. Dan 26 itu adalah usia, bukan nilai harga. Yakin. Payah tuh si Bihrul. Tahu begitu, saya ganti kerjain dia! Saya bilang, "Ada pemain liga lokal Jepang bernama Matsunaga yang akan ditransfer dari Urawa Red ke Real Madrid, Rul. Dia pemain harapan timnas Jepang. Nilai transfernya paling tinggi untuk ukuran pemain Asia yang merumput di Eropa.."
Bihrul mengangguk-angguk sebelum saya kasih tahu dia kalau Matsunaga itu sebenarnya merek stavolt, bukan nama orang. Masa' stavolt main bola?
06 Desember 2008
KOSONG LAPAN SATU
Suatu ketika, saya mengeluh atas pemotongan pulsa yang tidak semestinya pada sebuah operator GSM yang biasanya selalu beres tetapi kali ini ternyata tidak beres. Pulsa saya diembat di luar tarip yang ditentukan. Saya minta ganti. Dan alhamdulillah diganti dengan yang lebih banyak.
Suara lembut di seberang: “Cengsongsel Selamat Pagi dengan Rini ada yang bisa dibantu?”
Aku: “Begini, Rini, saya…” (dan seterusnya)
Suara di seberang semakin lembut: “Bisa disebutkan lebih dulu nomer handphone-nya, Pak Faizi!”
Aku: “Nol Delapan Satu, Blegedez Blegedez Blegedez, Tujuh Tujuh, Dua-Dua, Dhezthang Dhezthang.”
Suara di seberang: “Baik, Pak. Terima kasih atas informasi yang telah diberikan. Kami ulangi, ya: KOSONG Delapan Satu …”
Aku: “Eh, Rini?”
Suara di seberang tidak terkejut: “Kenapa, Pak?”
Aku: “Saya bilang NOL Delapan Satu, bukan KOSONG Delapan Satu. Nol itu angka, Rin. Kalau kosong itu volume.” (Jadi, beda dong…Rin… Ah, kamu Rin, rumahmu di mana? Aku main ke rumahmu, ya?) Catatan: yang di dalam kurung ini saya tambahkan sekarang, bukan di saat kejadian.
(Dialog saya putus sampai di sini. Menurut Anda, meskipun Anda tahu kalau semua customer service itu sangat ramah di saat bicara dengan pelanggannya, kira-kira suara hati Si Rini (nama customer service itu) mengeluh; “Huh, Bapak ini ada-ada saja!” atau begini; “Terima kasih atas kritiknya, Pak Faizi!” seperti yang dia ucapkan kepada saya dengan suara selembut bulut se gi’ nga’-anga’?)
05 Desember 2008
KALAU NGOMONG JANGAN KORMEDDAL
Suatu saat, ada tamu saya bernama Sakdi (semua nama yang disebut dalam cerita ini bukan nama sebenarnya). Dia cerita macam-macam tentang peruntungannya minggu ini. Terus, tak lama kemudian, datanglah Saiful. Saya pergi meninggalkan mereka berdua. Saya masuk ke kamar. Mereka berdua duduk di serambi depan.
Karena keduanya saling tidak mengenal, terjadilah percakapan seperti ini:
Sakdi: "Sakdi!"
Saiful: "Saiful.."
(mungkin, mereka sedang berjabat tangan, berkenalan)
Sakdi: "Dari mana?
Saiful: "Manding. Kamu?"
Sakdi: "Dasuk. Di mananya Pak Latip?''
Saiful: "E dhajana.. (di sebelah utaranya), "Maksud kamu, Pak Latip yang mulang di MAN itu kan?"
Sakdi: Ya, iya, Pak Latip botak yang killer itu. Semua tahu, kok, sama dia. aku kan alumni MAN. Huuhh, aku sering dihukum sama dia. Kamu akrab sama dia?
Saiful: Ya, beliau kakak ibu saya. Beliau paman saya.."
[Makanya, gini memang kalau tidak hat-hati. Bukan nyupir saja yang harus lihat kanan-kiri. Kalau ngomong, lihat-lihat spion, Mas! Jangan kormeddal!]
03 Desember 2008
Tepuk Tangan Para Guru
Para hadirin yang umumnya terdiri dari guru-guru, tenaga pendidik dan kependidikan, sangat bergairah di ruangan besar itu. Hal ini dibuktikan dengan tidak henti-hentinya tepuk tangan yang bahkan sangat mengganggu kekhidmatan acara: bagaimana tidak mengganggu, belum selesai bicara sudah ditepuktangani, berisik jadinya! Belum lagi gaya mereka guru-guru bahasa Indonesia yang tidak mengerti bahasa Indonesia: bagaimana tidak akan disebut tidak mengerti bahasa Indonesia, mereka tetap mengatur suara dering ponselnya keras-keras meskipun pembawa acara sudah memohon dengan hormat kepada hadirin agar ''dering'' diganti pada ''getar'', atau ponsel dimatikan.
Acara dimulai...
Himne guru yang dinyanyikan oleh paduan suara siswa dari berbagai sekolah SMP di Jakarta, bergema memenuhi dome tenis indoor Senayan yang megah itu. Catatan: ada yang berubah pada akhir lirik lagu itu sekarang: guru sebagai ''pahlawan tanpa tanda jasa'' diubah menjadi ''pendidik insan cendekia". Hal ini, mungkin agar selaras dengan tema yang telah disebut di atas, yaitu ''profesional dan sejahtera".
Mana para ustad yang datang memakai sarung ke ruang-ruang kelas di kampung? Mereka tidak tampak hadir di ruangan ini. Kemana gerangan? Ada di kursi pojok manakah mereka yang mengajar tanpa santunan/dengan tunjangan namun tidak memadai? Mereka tidak ada di sini karea korp Persatuan Ustad Seluruh Nusanrara (PUSN) belum terbentuk. Sedih deh...
Tepukan paling keras terdengar manakala presiden SBY, dengan suara yang mantap, mengumumkan bahwa sejak tahun 2009 nanti, guru akan duduk sejajar dengan manusia ''profesional dan sejahtera'' seperti dokter dan notaris. Dengan tercapainya alokasi dana 20% untuk pendidikan, para guru akan digaji minimal 2 juta per bulan untuk masa kerja "nol tahun" alias di tahun pertama bekerja. Uang sejumlah itu mungkin wajar jika mengingat, dari 210 T dana pendidikan, 110 T-nya untuk gaji guru, fantastis. Dalam pidato ini, saya merasakan betapa SBY tampak yakin, pendukungnya akan melimpah jika dia kembali mencalonkan diri untuk menjadi presiden yang kedua kalinya.
Ada hal penting yang patut kita perhatikan sekarang; akan terjadi sebuah pergeseran persepsi dan pandangan masyarakat terhadap guru! Demikian pula, banyak/tidak, akan ada guru yang akan mengubah, atau berubah, cara pandangnya terhadap pendidikan terkait profesionalisme dan kesejahteraannya. Akan kembali hangat pembicaraan dan pertimbangan zakat profesi. Bahkan, petugas akta dan catatan sipil, juga akan bersiap-siap untuk menambah jenis pekerjaan baru di dalam KTP: "Guru".
Acara selesai. Rasa capek tersisa di badan, rasa gelisah tersangkut di pikiran: maukah pemerintah menganggap ustad (yang mulang Ta'limul Muta'allim dan Alfiyah Ibnu Malik misalnya) sebagai guru berjenis pekerjaan profesional yang tentunya kelak juga BISA dicantumkan dalam KTP sehingga mereka tidak melulu dibuat tidak jelas nasib dan statusnya dengan selalu dianggap "wiraswasta"? Soalnya, dalam banyak hal, wiraswasta terkadang menjadi ameliorasi, kata penghalus bagi "pengangguran".
Hai orang-orang yang berselimut, bangunlah! Jangan terus-menerus melungker dengan selimutmu. Hai orang-orang yang bersarung, bangkitlah. Jadilah, satu orang saja di antara kalian, seorang presiden, atau paling tidak menteri pendidikan nasional, agar dapat membuat keputusan penting bagi dunia pendidikan (pesantren).
Kenapa jadi Mendiknas dan tidak jadi Menag saja? Iya, ya, kenapa, ya? Saya kok baru nyadar... Tapi, kalau di Depag, rekan-rekan kalian itu sudah terlalu banyak di situ. Cari tempat lain saja. Soalnya, kalau ngumpul ''sesama jenis'', cenderung memunculkan ide untuk ...
(bersambung)
BASA BASI
Si Tanya: "Pak, bagaimana hasil panen kali ini?''
Si Jawab: "Yaah.. Alhamdulillah, lumayan.''
Si Tanya: "Dapat untung berapa?"
Si Jawab: "Ya, sedikit, Pak, cuma lima juta."
Si Tanya: "Modal berapa?
Si Jawab: "13 jutaan.."
Untung besar saja ngomongnya lumayan. Coba kalau rugi, akan mengeluh seperti apa, ya, Si Jawab ini. Begitulah, kita memang benar-benar selalu merasa kurang terhadap pemberian.
Si Tanya: "Dapat juara berapa, Kang?"
Si Jawab: "Juara harapan, Boss! Situ?"
Si Tanya: "Saya juara 2."
Si Jawab: "Wah, lumayan, ya! Tapi, sebetulnya saya gak nyangka lho masuk final.. Saya ikut kompetisi ini tanpa persiapan."
Si Tanya: "Tanpa persiapan saja Situ masuk final, coba persiapan lebih lama, pasti juara pertama.."
Si Jawab: "Saya hanya bersiap dua bulan. Tapi, sebetulnya naskah saya dipuji juri, lho, Boss. Sayang, kata ketua dewan jurinya, naskah saya kurang sublim dan masih butuh editing pada bagian-bagian awalnya.."
Sudah dapat juara harapan, bilangnya tanpa persiapan. Sudah dapat penghargaan, mengajukan alasan untuk mengeluh macam-macam. Itulah kita, penuh basa-basi dan kurang pandai bersyukur. Coba kalau Si Jawab ini dapat juara pertama: apa kata dunia!!?
Pernah megalami hal seperti ini, kan? Basa-basi itu memang tidak dapat dipungkiri. Eufimismus, yang dikenal tidak hanya di Timur melainkan juga di Barat, merupakan salah satu bukti keberadaan basa-basi. Bahasa iklan umumnya basa-basi.
Oya, kalau iklan caleg yang dipajang di tepi-tepi jalan itu, yang menampilkan foto tokoh jadi ganteng-gagah dan cantik-muda karena rekayasa komputer, boleh tidak dianggap basa-basi
.....asalkan
yang jadi sponsornya bukan partai politik, tapi "Sampoerna A Mild").
01 Desember 2008
Sopir dan Guru
Pernyataan di atas menunjukkan suatu anggapan minor masyarakat terhadap sopir: bahwa sopir itu cenderung diberi label sifat tidak relegius, keras, dan banyak sifat tidak bersahabat yang lain.
Sopir sebagai pilihan pekerjaan merupakan sebuah keputusan yang sulit; tanggung jawab seorang sopir sungguh berat. Di samping itu, pelekatan sifat buruk yang diberikan masyarakat, sungguh sangat tidak mengenakkan.
Tapi, ini perkecualiannya: dialah Haji Jajang. Haji Jajang ini pengemudi di Lorena Group. Dia sopir Karina asal Purwakarta. Malam 28 Nopember 2008 kemarin, dia bawa Karina dari Pamekasan menuju Lebak Bulus (Jakarta). Kesan saya terhadap sopir ini sudah muncul sejak di terminal Pamekasan. Sewaktu sholat Jumat, dia berada pada shaf depan.
Haji Jajang bawa Karina dari Pamekasan sampai Tuban. Diganti sopir cadangan, dan dia kembali nyetir dari Semarang sampai Cirebon. Dan di sepanjang perjalanan malam Semarang-Cirebon ini, lamat-lamat aku mendengar ini sopir bergumam-gumam. Nah, kaget juga saya ketika duduk di kursi navigator (kursi buat kenek itu). Saya dengar dia membaca surat-surat pendek, Yasin, tahlil, dan shalawat secara bergantian. Santai sekali ini sopir menjalankan Mercedes Benz Jumbo Intercooler 1725 (?) ini sambil bershalawat.
Ada pula kisah Ibu Suyanti! Jika banyak perempuan mengemudi sedan, itu biasa; mengemudi busway, itu juga banyak; tapi jika menjalankan profesi sebagai sopir bus malam dengan trayek ratusan kilometer, nah, mungkin ini yang jarang dimiliki oleh perempuan selain orang Wonogiri bernama Mbak Yanti ini. Ibu Suyanti adalah sopir bus malam GMS (Gajah Mungkur Sejahtera), jurusan Jakarta-Wonogiri. Karena keterdesakan hidup, Suyanti menjadi sopir: sebagai kederdesakan, bukan pilihan pilihan pekerjaan sebagaimana pekerjaan sopir-sopir ''lelaki''pada umumnya?
Sudah bicara sopir, kita ganti bicara guru: kata seseorang yang saya hormati pendapat-pendapatnya, ''guru'' itu ''dilahirkan'', bukan ''diciptakan''. Nah, adakah yang menjadi guru--dengan mengacu kisah mbak Yanti tadi--dengan anggapan sebagai ''keterdesakan'' (karena untuk mau berini-itu sudah tidak bisa berbuat lebih banyak lagi) dan bukan sebagai ''pilihan''?
Mana kutahu!
Jawab saja sendiri!!