Tidak banyak orang yang punya anggapan baik terhadap sopir: pernyataan ini didasarkan dari ungkapan masyarakat yang beberapa kali saya dengar: "Cari sopir yang bilu' (bengkok) itu sulit. Yang banyak adalah sopir yang noq-calennoq (bengkok berkeluk-keluk)".
Pernyataan di atas menunjukkan suatu anggapan minor masyarakat terhadap sopir: bahwa sopir itu cenderung diberi label sifat tidak relegius, keras, dan banyak sifat tidak bersahabat yang lain.
Sopir sebagai pilihan pekerjaan merupakan sebuah keputusan yang sulit; tanggung jawab seorang sopir sungguh berat. Di samping itu, pelekatan sifat buruk yang diberikan masyarakat, sungguh sangat tidak mengenakkan.
Tapi, ini perkecualiannya: dialah Haji Jajang. Haji Jajang ini pengemudi di Lorena Group. Dia sopir Karina asal Purwakarta. Malam 28 Nopember 2008 kemarin, dia bawa Karina dari Pamekasan menuju Lebak Bulus (Jakarta). Kesan saya terhadap sopir ini sudah muncul sejak di terminal Pamekasan. Sewaktu sholat Jumat, dia berada pada shaf depan.
Haji Jajang bawa Karina dari Pamekasan sampai Tuban. Diganti sopir cadangan, dan dia kembali nyetir dari Semarang sampai Cirebon. Dan di sepanjang perjalanan malam Semarang-Cirebon ini, lamat-lamat aku mendengar ini sopir bergumam-gumam. Nah, kaget juga saya ketika duduk di kursi navigator (kursi buat kenek itu). Saya dengar dia membaca surat-surat pendek, Yasin, tahlil, dan shalawat secara bergantian. Santai sekali ini sopir menjalankan Mercedes Benz Jumbo Intercooler 1725 (?) ini sambil bershalawat.
Ada pula kisah Ibu Suyanti! Jika banyak perempuan mengemudi sedan, itu biasa; mengemudi busway, itu juga banyak; tapi jika menjalankan profesi sebagai sopir bus malam dengan trayek ratusan kilometer, nah, mungkin ini yang jarang dimiliki oleh perempuan selain orang Wonogiri bernama Mbak Yanti ini. Ibu Suyanti adalah sopir bus malam GMS (Gajah Mungkur Sejahtera), jurusan Jakarta-Wonogiri. Karena keterdesakan hidup, Suyanti menjadi sopir: sebagai kederdesakan, bukan pilihan pilihan pekerjaan sebagaimana pekerjaan sopir-sopir ''lelaki''pada umumnya?
Sudah bicara sopir, kita ganti bicara guru: kata seseorang yang saya hormati pendapat-pendapatnya, ''guru'' itu ''dilahirkan'', bukan ''diciptakan''. Nah, adakah yang menjadi guru--dengan mengacu kisah mbak Yanti tadi--dengan anggapan sebagai ''keterdesakan'' (karena untuk mau berini-itu sudah tidak bisa berbuat lebih banyak lagi) dan bukan sebagai ''pilihan''?
Mana kutahu!
Jawab saja sendiri!!
01 Desember 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
5 komentar:
sepertinya ra paili ini memang fan berat bis dan hal-hal yang terkait dengannya. untuk alinea terakhir yang mengkaitkan guru dengan sopir secara baik saya acungi jempol.
hahaha...
heeeeee......heeeee,,,,,,
Bener Mas, itu Pak Jajang yang saya temui juga.
Orangnya religius, bicaranya berbobot dan kalimat-kalimatnya begitu menyentuh.
Tidak banyak sopir yang searif dan sebijak Pak Jajang.
Salut buat beliau...
komentar blogger terlambat 4 tahun. mohon dimaafkan, ya!
;-)
Posting Komentar