Beberapa waktu lalu, dalam sebuah perjalanan di jalur pendek, saya naik bis, dan duduk di kursi baris ketiga dari belakang. Bis yang saya tumpangi ini lumayan banter. Meskipun bodinya sudah rusak-rusak, tetapi deru mesinnya masih memperdengarkan suara gahar seperti James Hetfield saat menyanyikan Master of Puppets. Menilik aumannya, dapur bis ini pasti pakai kompor Mitsubishi, bukan Hino atau Mercy.
Duduk persis di belakang saya, seorang lelaki berseragam NNR, pak kondektur, tukang tarik karcis. Saya mencari pembenaran kepadanya untuk memulai pembicaraan pertama.
“Mesinnya Mitsubishi, ya?
“Kok tahu?”
“Ya, derunya itu
Diam beberapa saat, konedektur itu memperhatikan peciku.
“Sampeyan ini tirakat jalan, ya?”
Saya meringis, seperti kena silet.
“Suka naik bis saja, tidak lebih,” jawabku sejujurnya.
“Ah, solanya, ada lho yang tirakatnya di tempat-tempat yang ramai,” sambungnya.
“Enggak. Asli. Saya cuma suka naik bis. Ini bisnya banter. Sennang saya.”
Seperti kebanyakan, sudah naluriah mungkin, awak bis selalu memuji bisnya, sebagaimana orang tua selalu memuji anak-(pertama)nya.
“Wah, ini sih ndak ngebut, Mas. Sopirnya bukan sopir asli. Coba sopirnya yang asli, lebih banter. Ini jamnya sudah ngepres. Nanti kami harus putar-balik di pertigaan terminal. Jam parkir sudah habis.”
Saya melongo, mencoba mengiyakan, mencoba mencari pemahaman.
Sepeminuman teh…
Sang kondektur curhat kalau dia juga suka ijazah-ijazah kesaktian, tapa, puasa mutih, dan sebagainya. Saya jadi pendengarnya di sela-sela bunyi mesin depan, gedubrak-krongsang baut-baut bodi bus yang sudah atal-talan.
“Aslinya, saya juga suka amalan-amalan, Mas,” lanjutnya. “Saya ndak pernah mondok, tapi saya juga bisa cepet kalau ngaji Al-Quran.”
Saya tersenyum
“Kalau lagi perpal, saya ikut khataman.”
Saya tersenyum lagi.
“Bahkan, ngaji 1 juz bisa saya selesaikan dalam 15 menit saja!!
Saya (memaksakan diri untuk) tersenyum.
Pikirnya, dalam pikir saya, yang suka naik bis banter dikiranya pasti suka banter-banter yang lain: bukankah sopir bis banter juga harus tahu tajwid-nya jalan raya?
4 komentar:
Mungkin si kondektur akan lebih senang seandainya saja ajunan memberi dia semacam ijazah. Ya meskipun ijazah palsu, sekarang kan lagi musimnya.... :)
lebih cepat, lebih baik...
(sakeng kaula paggun tak meleh)
Addoooo, tak nyanggling e bun attas ampon, QemBB!!! Ersy!!!
Btw,
1. "banter" kan bisa berarti "nyaring" juga engghi? :)
2. "deru mesinnya masih memperdengarkan suara gahar seperti James Hetfield saat menyanyikan Master of Puppets", apakah sarangan knalpotnya di buka, sehingga mengeluarkan efek bunyi "gredem, gredem, gredem"?
3. "Sepeminuman teh...", seandainya ini di posting sbg status FB, maka saya langsung klik ikon "like"!!!
@cubit: gak ikut-ikut aku. ijazahku asli semua!
@en.hidayat: semoga selamat sampai duluwan!
@partelon: 1. OK 2. Hetfiel main gitar, Om.. bukan 4 senar bass Fender dan Trace Elliot, he..he. maksa'an Om ini... 3. Maaf, pinjam punya Mas Wiro..
Posting Komentar