Saya mau bikin pengakuan atas pengakuan palsu saya, bahwa saya, dulu, pernah membohongi calon istri saya terkait identitas diri ini. Sebetulnya—dan ini bukan ngeles, serius—skenario ini bersifat spontan dan idenya bukandari saya, melainkan dari (mendiang) mertua saya. Saya maunya jujur, tapi ternyata jadi bubur.
Calon istri saya itu, dulu, mondok di pondok yang tidak ada sekolah formalnya. Kata orang Madura, dia itu santri salaf (tapi bukan Salafi; lembaga salaf artinya lembaga pendidikan yang menggunakan metode salafiyah). Dalam bayangan mertua saya (yakni ayahnya), tentu saja si calon istri tadi akan mendambakan suami yang chemistry-nya sama, nyambung, sekurang-kurangnya dari pondok pesantren yang metode pendidikannya mirip, serupa dengan pondoknya. Nah, karena si calon ini dari Sidogiri, pondok pesantren kesohor yang sangat terkenal dan alumninya rata-rata dikenal bermutu di bidangnya, terbayanglah si dia bakal langsung jatuh hati kepada saya.Saat dia datang dan duduk di ruang sebelah, bapak mertua (dulu masih calon) memperkenalkan saya kepadanya, “Jadi, dia ini guru tugas dari Sidogiri, mau ditempatkan di pondokmu. Nah, dia mau tanya-tanya materi kitab apa saja yang ada di pondokmu,” kata beliau. Sebetulnya, saya tidak sreg dengan skenario spontan ini karena kalau dipikir, ya, tidak logis juga. Masa' guru tugas masih nanya-nanya mau ngajar apa, mestinya kan sudah direncanakan sejak jauh hari sebelumnya, ndak perlu nanya-nanya, apalagi ke santrinya, bukan ke pengurus pondok. Ada-ada saja.
Si calon tunangan tidak menjawab (Menurut pengakuannya beberapa tahun setelah kami menikah, waktu itu dia sebel sekali sama gaya saya. Katanya, dia sudah mencium gelagat si “guru tugas palsu” ini kalau sebetulnya adalah seorang lelaki yang ingin meminangnya, bukan guru tugas beneran). Saya menganggapnya tanda malu, padahal dia emoh, katanya. Cuman, pada akhirnya dia harus meleleh karena wasiat sang ibunda agar dia berserah kepada saya, calon tunangan dan (insya Allah) calon suaminya. “Terimalah calon yang melamarmu,” begitu kata istri saya saat menirukan pesan ibunya.Kini, dia telah menjadi sitri saya. Dan karena saya sadar kalau saya pernah bersalah kepadanya dengan mengaku santri Sidogiri, saya minta maaf kepadanya atas pengakuan palsu itu. Tentu saja dia sudah tahu sejak dulu. Tapi, bagaimana cara saya minta maaf kepada Sidogiri?
Eh, kok kebetulan atau bagaimana, saya diundang BPP PP Sidogiri untuk suatu acara. Nah, dalam pada itu, saya sampaikan perasaan berasalah ini, semacam curhat tapi entah untuk siapa. Saat itu, Badan Pers Pesantren (BPP) Sidogiri menyelenggarakan Orientasi Insan Pers dengan mengundang saya sebagai narasumbernya. Kegiatan bahkan terlaksana hingga dua kali, pada 15 Pebruari 2017 dan berulang lagi pada 12 Pebruari 2020.
Begitulah ceritanya.
Apakah saya dimaafkan?
Masa gitu saja tidak dimaafkan! He, he, he.
M. Faizi
1 komentar:
Suatu ketika, sekitar tahun 1994, aku pernah diajak teman masuk kelas di IAIN Walisongo Semarang. Waktu diabsen aku bingung, karena kemungkinan pasti ketahuan aku bukan mahasiswa. Setelah satu per satu dipanggil, aku merasa lega karena aku gak ditanya.
Setelah 20 tahunan lebih, ada kesempatan aku diundang untuk mengisi acara yang dihadiri para pimpinan UIN Walisongo, sudah berubah dari IAIN jadi UIN. Akhirnya jadi momen pengakuan dan minta dihalalkan penyusupanku..
Posting Komentar