Kami sedang duduk bertiga di sebuah kobhung (sebutan untuk tempat berkaki seperti surau, atau tempat tamu, atau tempat rehat). Seterusnya, kami bicara ngalor-ngidul. Obrolan rakyat biasa seperti ini jelas lebih banyak O.O.T (out of topic)-nya ketimbang tematiknya sebab kami ini orang biasa semua, bukan para anggota dewan yang sedang rapat paripurna.
Singkat cerita, karena sebetulnya saya duduk di situ dalam posisi sedang 'menunggu', maka ketika datang seorang lagi, obrolan tetap nyambung meskipun semakin O.O.T. Yang datang terakhir ini bahkan tidak begitu saya kenal, cuman lupa-lupa ingat saja.
Pada sesi akhir obrolan, saya bercerita tentang jamu. Sebabnya karena ada di antara kawan dalam lingkaran pertemanan kami yang sakit. Kami membanding-bandingkan soal jamu dan obat kimia. Tentu saja saya tidak memperparah penyimpangan obrolan dengan, misalnya, membahas soal obat tradisional terstandardisasi seperti yang diteliti dan dibahas oleh Mas Nanang Suryadi, contoh hal sejenis "bungkus jamu isinya bahan kimia", atau hal-hal seperti "dari biji kopi pilihan yang dibungkus sasetan padahal isinya cuman kulit kopi saja yang berperisa dan difermentasi". Kita ngobrol yang receh-receh saja.
“Saya ada cerita. Ini soal jamu temulawak dan sirih dalam hubungannya untuk memperkuat imun dan ketahanan tubuh,” kata saya memulai cerita. “Jadi, kira-kira 4 atau 5 bulan yang lalu, saya sempat flu dan kehilangan indra rasa, hilang indra penciuman pula. Saya mengurung diri. Saya mencurigai itu gejala Covid. Makanya, saya...”
“Ah, Covid itu bohong, akal-akalan saja...” celetuk orang yang datang terakhir sambil tertawa dan lanjut berkata. Terus, bagaimana?”
“Gak jadi, ah!” balas saya.
***
Itulah yang saya maksud dengan “kormeddal” yang dalam Bahasa Indonesia kira-kira bermakna “asal mengayuh” atau “waton mancal” dalam Bahasa Jawa. Arti asal kata tersebut begitu, tapi sering digunakan secara metaforis oleh orang untuk menunjuk pada “omongan yang muncul tanpa dipikir, baik soal salah atau benarnya, atau soal tepat atau tidaknya, atau soal kontekstual dan tidaknya.
Belakangan, perilaku seperti ini sering kita temukan di media sosial, misalnya orang yang bukan teman kita tapi nyeletuk dan berkomentar out of topic atau nyepam atau ngisruh di postingan kita karena dibuka untuk publik. Harusnya dia risih karena tidak kenal, bukan? Juga tidak tahu siapa-temannya-siapa, tidak paham identitasnya, dst. Lha, dia ini dengan entengnya ngomong kormeddal. Tapi, yang saya ceritakan itu di media sosial, dan yang saya alami adalah di lingkungan sosial, di depan hidung.
Lalu, ada orang bernama Ragil Cahya Maulana bikin logo Kormeddal seperti ini (dia sudah bilang ke saya sebelum ini): “kormeddal”, tapi dalam huruf pegon. Nah, Ragil ini menggunakan kata—yang sebetulnya frasa jika ditulis terpisah menjadi: “kor + meddal” kembali ke khittah-nya, berarti “yang penting (bisa) mengayuh, sebab nama itu adalah nama bengkel sepedanya, di Jalan Diponegoro, kota Sumenep.
2 komentar:
Hebat.. tetep aptodate blog-nya.. :D
@Info Pulau Madura: ya, semoga masih bisa melanjutkan. Terima kasih
Posting Komentar