Ini cerita zaman dulu. Sebetulnya, peristiwanya tidak begitu dulu,
yah, semacam beberapa tahun yang lalu saja, sebelum “share loc.” dikenal dan
GPS masih menjadi kebutuhan navigasi dan tentara, beda dengan sekarang yang
orang umum pun pada tahu dan punya, kayak sisir rambut.
Subang, 1/1/2013 |
Kalau kamu sedang duduk-duduk di tepi jalan, sedang jaga toko atau
nongkrong, acapkali ada pelintas atau orang entah siapa yang mendadak berhenti,
lalu mendekat. Kalau mereka naik mobil, mereka turun dari kabin. Jika naik
motor, mereka akan matikan mesin, turun dari sadel, kadang setengah membungkuk juga
sebelum bertanya.
“Misi... numpang tanya. Tahu sama rumahnya Mas Marco?”
“Mas Marco yang
mana, ya?”
“Yang jualan meubel
jati, Mas.”
“Oh, di situ.
Sampeyan lurus saja ikuti jalan ini, nanti ada gang lebar ke kiri, masuk. Terus
saja sampai ketemu perempatan, ada pohon mahoninya di kanan jalan. Sampeyan
ikut ke kanan, notok sampai ketemu rumah sangat besar dan bertingkat...”
“Oh, di situ rumah Mas Marco?”
“Ndak, bukan, rumahnya sampingnya lagi, persis.”
“Ooo...iya...”
Cakap basa-basi seperti ini di kalangan, di zaman sekarang, nyaris tidak ada lagi, terutama di kalangan Gen Z, generasi yang masa pubernya dicapai bersamaan dengan masa kepresidenan
Pak Joko. GPS sudah menjawab semua pertanyaan kamu. WhatApps akan ngasih tahu posisi
rumah doi secara tepat.
Naik-turun sadel kalau cuman buat nanya-nanya tak perlu lagi. Tapi, kan memang
itu yang kita damba? Praktis dan instan.
Subang kalau tak salah, tahun baru 2013 |
Meskipun tampak sepele, perubahan gaya hidup seperti ini akan turut
pula mengubah sudut pandang kita terhadap kehidupan, terhadap manusianya,
terhadap lingkungan. Pasalnya, orang makin jarang bertatap muka. Mereka lebih
sering bicara dengan layar LCD. Kalaupun berkumpul di satu tempat, tapi urusan
mereka sendiri-sendiri. Perubahan gaya ini juga berpengaruh terhadap bahasa,
khususnya pepatah. Yang dulu eksis, kini harus dihapus, atau diubah: Malu
bertanya, sesat di jalan. Nanya melulu, bikin malu. Ogah bertanya, pakailah
GPS.
***
Apakah kita mau mengutuk teknologi? Kurang kerjaan, ah. Nyatanya, meskipun banyak yang antiteknologi dan tetap mengutuknya,
orang awam merasa lebih nyaman menjalani hidup dengannya, terutama karena
adanya teknologi komunikasi dan transportasi. Namun, kalau mau jujur, yang paling dijunjung oleh generasi awal
adalah keluhuran budi, dan itu wujud daripada humanisme, kemanusiaan yang beradab. Humanisme inilah
yang dapat menyatukan umat manusia yang beda ras, beda agama, beda bangsa, bukan teknologi.
lokasi sama dengan foto di atas |
Di perjalanan, banyak
sisi-sisi lain humanisme yang ‘mengelupas’,
berubah, bahkan ada pula
yang mulai pudar. Sejak dibangunnya tol berkepanjangan panjang (begitu orang menyebut Trans-Jawa) di pulau
Jawa, yang dulu satu RW cuma beda tegalan, kini terpisah beneran. Yanto di selatan dan Santi di utara, yang dulu
sering intip-intipan, kini hanya dapat melihat bentangan beton memanjang. Bonusnya adalah polusi udara dan suara.
Bentangan alam yang dulu indah dengan
jagung dan padi, kini raib sebagiannya, ditumbuhi rumah dan cagak besi. Di tahun 80-an, dulu, kenyataan yang terjadi sekarang ini hanya ada di dalam cerpen
futuristik atau science-fiction, belum ada di atas tanah. Sekarang, adanya tanah dan hutan kecil di tengah
kotalah yang futurustik. Ya, apa-apa itu,
pada saatnya nanti, akan serba terbalik.
Inilah beberapa situasi dan keadaan yang
hilang dari atas aspal, terutama kalau kamu naik bis.
WARUNG MAKAN TAK SEBANYAK DULU
Dari balik kaca bis, di
perjalanan, kalau di Sumatra kita lihat Bukit Barisan,
kalau di Jawa kita melihat barisan warung makan, utamanya jika
perjalanan tersebut
dilakukan di Jawa pesisir utara. Suasana warung-warung makan di ruas jalan itu
sangat ramai, rapat, dan meriah. Sekarang, itu sebagiannya mulai mati, jadi gosip
untuk "rikolo jaman semono". Jika kamu melintasi jalan tol, yang akan kamu
hadapi adalah sawah dan gudang di kanan kiri. Warung tak ada, seperti tidak adanya
kendaraan lain yang datang dari lawan arah kecuali di seberang batas pemisah. Tidak ada lagi orang ngawur yang
nyentrongkan lampu jauhnya semena-mena ke arah muka.
Lihatlah sepanjang ruas Losari, Kecipir, Tengguli, Tanjung, suasana
pertokoan masih lumayan hidup, tapi mulai
meredup. Dulu, di situ, banyak sekali warung makan dan truk yang mangkal. Tahun lalu, atau tiga tahun yang lalu, di sana masih semarak. Saya menyaksikannya. Tapi,
bulan yang lalu, yang saya lihat begitu
masuk ke wilayah Cirebon, warung-warung besar sudah pada tutup. Halamannya penuh rumput. Kalau
pun ada yang buka, halamannya tampak kayak orang brengosan yang tak pernah cuci muka. Rumah makan sekelas RM Aroma mungkin
masih bertahan, tapi kelas menengah seperti RM Minang Asri atau warung mi atau ayam bakar, habis-lah.
Orang zaman kuno, era musik disko, kalau
kita mau bepergian itu bawa nasi dengan piring dan rantang sendiri. Air minum dimasukin
jeriken, sudah mirip minyak tanah aja. Jadinya, mampir ke warung makan pun memang
jarang. Belakangan, orang beli nasi tinggal melipir ke warung atau bungkus
pakai styrofoam. Airnya beli air kemasan.
Sesudah makan, tinggal buang saja ke pinggir jalan, tempat sampah yang super-panjang-lebar.
Orangnya sudah mati, sampahnya abadi.
Apakah dengan adanya fenomena tol panjang
seperti sekarang, ketika warung semakin berkurang, gaya hidup orang bakal
kembali ke zaman dulu lagi dalam hal makan?
GOYANG TIPIS, PREI, KRES
Jalanan kian rapat. Selah
antar-kendaraan sangat padat. Kres-kresan kendaraan hanya dipisah
garis marka, bukan separator atau cekungan. Karena itu, fungsi sopir kiri alias
kernet sangatlah baperan, eh, berperan.
pulang dari Kudus, 13/12/2015 |
Kamu pernah dengar kernet teriak begini? “Goyang tipis, masuk, kiri...”
Kalau ada aba-aba begitu, sopir akan menggeser bis agak ke kiri. Tujuannya adalah agar
pandangan si kenek tidak terhalang padangan kendaraan di depan, seperti bak truk atau sesama bis. Ketika padangan si kenek sudah bebas ke
depan, dia akan mengaba-aba kembali:
kres atau prei.
“Kres...”
Kalau “kres”, artinya
gerakan menyalip harus ditunda dulu dan gas harus dikendorkan. Bis kembali ke pengaturan awal. Jika
perintahnya adalah “Prei kiri!”, maka sopir akan melanjutkan gerakan, goyang
kiri, yakni menyalip kendaraan di depannya dari sebelah kirinya.
Kernet-kernet bis era 90-an dipastikan juga
seorang stuntaman. Ia bergelantungan di pintu lipat yang dibuka lebar-lebar pada
saat bis melaju kencang. Vin Diessel atau
Schumacher pastilah merinding kalau melihat adegan seperti ini dibawa
enteng, bahkan sambil rokok-an.
Sekarang, aksi heroik seperti ini sudah kurang
kerjaan. Mau apa kok masih
tengak-tengok kanan-kiri jika jalan
sudah membentang lurus, luas, tanpa rintangan? Lagi pula, tidak ada lagi kendaraan yang
ngawur dari arah depan karena separator di jalan tol itu sangat lebar, pakai beton atau pagar.
Tentu saja, kalau kamu masih
ingin merasakan sensasi begituan, kamu
harus pergi ke Mojokerto-Jombang, atau Nganjuk-Madiun, dan naik bis yang tidak
lewat jalan tol. Atau pergilah ke trek lainnya di luar sana, seperti Banda
Aceh-Medan, Palembang-Bandar Lampung, juga (“konon”, soalnya yang trek ini saya
belum tahu) di Medan-Pekanbaru, atau Makassar-Toraja atau Palopo.
Pekalongan-Tegal juga masih bisa, jalannya lebar dan bisa nyalip dari kiri.
Tapi tentunya, kamu harus jadi penumpang meteran, yang baru saja kamu sibuk
membetulkan letak pantat untuk duduk, tujuan sudah tiba, sudah sampai.
RAIBNYA ASONGAN
Yang paling menarik dari numpak bis adalah adanya fenomena “toko yang mendatangi
kita”, bukan “kita yang pergi ke toko”. Itulah dia asongan. Waktu saya kecil,
saya berpikir, ‘Kok bisa ada toko di dalam bis, ya? Enaknya jajan cemilan di
toko yang berjalan’, begitu pikir saya. Baru setelah dewasa saya ngerti kalau
ternyata penjual asongan itu gonta-ganti pemain di setiap terminal.
Keberadaan asongan memang menyenangkan bagi
penumpang, tapi nyatanya juga mengancam secara keamanan. Banyak oknum copet
yang menyamar. Dulu, saat bis menunggu antrian kapal di Pelabuhan Kamal,
pelabuhan yang konon tersibuk ketiga di Asia Tenggara (ditandai dengan 4
dermaga aktif padahal yang wira-wiri cuma orang Madura yang jalur daratnya juga
buntu sampai Kalianget) itu, asongan akan berhambur masuk ke dalam. Beberapa
kali saya melihat penumpang yang kecopetan begitu asongan turun dan penumpang
sudah turun ke dek kapal, sama seperti yang juga kerap terjadi di
terminal-terminal.
Namun, sejak dibukanya (tol) Jembatan
Suramadu tahun 2009, Pelabuhan Kamal yang mirip New York karena hidup 24 jam,
langsung lemes, mati suri. Kalau sekarang, jam 9 malam saja lewat di sana, ih, rasanya
seperti sedang melakoni uji nyali. Tol Suramadu mengubah suatu tempat, suatu
kondisi ekonomi, suatu iklim sosial, dengan sangat cepatnya. Meskipun begitu,
ada juga yang berkomentar nyelekit kayak ini: “Dulu,
kita selalu dibikin sebel karena antre
lama di Kamal. Feri-nya ngetem lama, enggak
berangkat-berangkat. Giliran sekarang ada Suramadu, gantian si Feri yang nunggu kita. Rasain.”
Itulah beberapa perubahan besar di
perjalanan. Saya yang hidup di kedua masa bisa merasakannya sekarang. Generasi
anyaran hanya tahu yang versi baru. Generasi kuno hanya bisa baper kalau ingat
yang dulu. Jangankan uang, pepatah pun, seperti disinggung di atas, juga banyak
yang berubah, bahkan perlu dihapus. Contoh: Ada
api, ada asap. Kompor elektrik tidak berasap. Pepatah tidak laku. Ada gula, ada
semut. Gulanya mengandung racun, semut tidak mau. Habis manis, sepah dibuang.
Sepah masih bisa diolah dan jadi duit, jadilah habis manis, sepah ditelan.
Tapi, apa-apa itu memang sudah berubah
semua, kok. Makanya, kita harus melatih diri agar tidak mudah baper, seperti
jagoan kita yang sudah yakin menang di Pilpres mendatang, eh, kok kaaaalah. Jangankan
Pilpres yang lima tahunan, uang yang katanya alat tukar berbahan kertas atau
logam—yang kita butuhkan tiap hari itu—nyatanya kerap hanya tinggal nama dan
digit saja. Contoh: misal esai saya ini dimuat, paling nanti juga ditransfer,
terus, belum sempat diambil, sudah saya teruskan lagi buat bayar rekening
listrik.
*artikel ini sudah dikirim ke Mojok, tp enggak terbit-terbit akhirnya saya terbitkan saja sendiri
6 komentar:
jadi ingat saat berjam-jam dalam perjalanan bus
@dian nafi: betul, paling lama saya pernah 29 jam dari sumenep ke Jakarta. sekarang, terakhir saya ikut, sebulan yang lalu, cuma 14 jam via trans-jawa
kamal-perak ini legenda saya jaman kuliah. kadang karena asik ngobrol di kapal ga sadar kalau bisnya udah keluar. akhirnya lari-larian ngejar bis sebelum beneran ketinggal. =))
dan sekarang menjadi penghuni setia pinggir jalan kedinding sisi surabaya tiap mau mudik ke madura.
makasih makasih sudah mau berkometnar. Kedinding sangat tidak menarik karena harus memberhentikan di tempat bukan pemberhentian. Itu kalau terpaksa saja, meskipun sungguh tidak menyenangkan. he he he he
enggi. tape ketimbang harus ke bungur jauh. jadilah tiap mudik jadi pejuang kedinding. *halah
iya juga,sih
Posting Komentar