31 Desember 2010

"Gadis dalam Lukisan": Tentang Sebuah Buku dan Keinginan Menjadi Penulis

Sebetulnya, keinginan untuk menulis catatan kenangan ini muncul tak terduga. Saat saya ingin menulis sebuah prosa tetap tidak segera menemukan momen yang pas, istilahnya tidak mood, muncullah gagasan ini. Nah, tiba-tiba saya teringat sebuah buku. Mungkin, ini adalah buku fiksi pertama saya. Kala itu, saya masih kelas 5 madrasah ibtidaiyah (setara SD). Tulisan ini pernah saya publikasikan di facebook.

Kira-kira tahun 1985, saat saya masih duduk di bangku sekolah dasar, antara kelas 5 atau 6, saya gemar membongkar-bongkar buku untuk dibaca di perpustakaan sekolah. Namun, perpustakaan yang saya maksud bukanlah perpustakaan madrasah ibtidaiyah tempat saya menuntut ilmu, melainkan Perpustakaan Madrasah Tsanawiyah Putri Annuqayah yang dikelola oleh kakek saya dan terletak di samping rumah).

Koleksi buku di perpustakaan tersebut sangat terbatas. Barangkali, karena alasan inilah kegemaran saya ini terbentuk. Meskipun tidak secara lahap, fiksi maupun nonfiksi, semua saya baca tak pandang buku. Di antara bahan bacaan yang paling saya suka adalah buku-buku inpres bertema ilmu pengetahuan alam. Buku-buku ini bergambar dan sifatnya serial, antara lain buku tentang sejarah kereta api, batu-batuan, listrik, mesin uap, dan pesawat terbang. Sayangnya, tidak satupun buku yang saya ingat judulnya, kecuali buku tentang pesawat terbang—kalau tidak salah—berjudul “Wilbur Wright Bersaudara” (untuk kategori non-fiksi) dan “Jarot Pahlawan Cilik” (untuk kategori fiksi).

Pada suatu hari, saya mendapatkan sebuah buku di luar perpustakaan. Saya tidak ingat, buku apa itu. Yang pasti saya ingat adalah: buku itu terbitan Gaya Favorit Press, beralamat di Jakarta. Berbekal alamat di sampul belakang buku serta kesukaan berkirim surat, dengan perasaan polos, saya mengirimkan selembar kartu pos berperangko Rp100,- kepada penerbit. Di sana saya tulis, bahwa saya adalah seorang pelajar di desa terpecil, kurang bahan bacaan, lengkap dengan alasan sedih ini-itunya; jujur dan tidak gombal. Paragraf kedua berisi permohonan. Paragraf ketiga, sudah barang tentu, ucapan terima kasih.

Selang beberapa minggu, bukan alang-kepalang saya gembira ketika melihat seorang petugas pos datang membawa amplop berwarna coklat. Saya buka; wow! Sebuah buku. Ya, itu buku yang tempo hari saya minta. Beruntung, dan kebetulan sekali, buku yang saya terima adalah buku fiksi kesukaan saya. Buku tersebut adalah buku kumpulan cerita pendek karya Darwis Khudori, “Gadis dalam Lukisan”.

Suatu hari, 21 tahun kemudian…

Siang itu, tepatnya tahun 2006, saat saya membaca sebuah buku kumplan cerpen berjudul “Odah dan Cerita Lainnya” karya Mohammad Diponegoro, entah mengapa tiba-tiba saya teringat buku kumpulan cerpen yang saya baca 21 tahun yang silam itu. Mendadak muncul keinginan untuk mencari tahu, di manakah si penulis buku “Gadis dalam Lukisan” itu kini berada.

Singkat cerita, saya mengirim pesan kepada Mas Mathori A Elwa. Dia membalas, “Aku gak tahu. Coba kau tanya Mustofa W. Hasyim, mungkin dia tahu.” SMS serupa akhirnya saya alihkan ke Mas Mustofa. Namun, dia juga hanya memberikan saran, “Coba kamu tanya si fulan di Yayasan Pondok Rakyat.” Setelah saya menghubunginya, seseorang itu meminta maaf karena ternyata dia juga tidak tahu-menahu. Namun, si fulan ini juga memberikan anjuran yang sama, yakni agar saya menghubungi seseorang yang lain di sana. Nah, dari seseorang yang lain inilah, akhirnya, saya mendapatkan alamat kontak Bapak Darwis Khudori.

Berdasarkan alamat emailnya, saya menduga, Pak Darwis Khudori tinggal di Perancis. Segera saya layangkan sebuah email kepadanya. Isi email tersebut antara lain berisi testimoni seorang pembaca kepada seorang penulis, tentang sebuah keinginan untuk mengenal lebih jauh sang sastrawan. Kurang dari sebulan, Pak Darwis membalas.

Bahagia rasanya mendapatkan balasan dari seseorang yang sejak bertahun-tahun silam saya kagumi karya-karyanya. Namun, yang lebih mengagetkan adalah sebuah pernyataan, bahwa kira-kira pada kisaran tahun 1978-an, saat saya masih berusia 3 tahun, beliau mengaku pernah tinggal di Annuqayah, di kampung saya itu, untuk beberapa waktu lamanya. Setelah saya cari informasi dari beberapa orang yang saya yakini tahu perihal beliau, seseorang yang datang dari jauh dan tinggal di Annuqayah pada kisaran tahun 1978 itu, mereka membenarkannya, meskipun mungkin mereka belum tahu kalau Darwis Khudori itu kini menjadi profesor di University of Le Havre.

Itulah kisah perjumpaan saya dengan sebuah buku (pertama) yang membangkitkan hasrat saya untuk menulis. Saya berusaha mengingat-ingat kembali kenangan itu sekarang, tentang sebuah keinginan yang kuat, tentu agar saya bersemangat lagi, kembali berapi-api.

26 Desember 2010

Bebas dari Plastik

Apakah Anda dapat bebas dari ketergantungan akan plastik?

Setiap hari, hidup kita nyaris tidak bisa dipisahkan dari plastik. Barang ini ini begitu akrab dan dominan dalam kehidupan dan kebutuhan kita. Ya, ia adalah bagian penting dari kehidupan kita sendiri. Bahkan, ia nyaris menjadi gaya hidup kita. Mengapa sampai-samapi begini? Salah satu alasannya barangkali karena plastik begitu mudah, begitu simpel, dan tentu murah.

Air kemasan, misalnya. Meskipun air mineral dalam kemasan telah ada sejak pertengahan tahun 80-an, namun air kemasan sebagai bagian yang selalu ada bersama hidangan/prasmanan belumlah sepopuler seperti saat ini. Sekarang, kaya miskinpun sama-sama menggunakan air gelas dalam kemasan untuk minum di undangan, bahkan dalam kehidupan kita sehari-hari. Di rumah, di dalam perjalanan, bahkan di dapur pun, mungkin dengan mudah kita menusukkan sedotan ke dalam air kemasan itu.

Barangkali memang tidak semua tahu bahaya sampah plastik. Barangkali masih sedikit yang tahu (atau tahu tapi tidak peduli), bahwa plastik tidak dapat diurai dengan mudah oleh tanah; butuh puluhan, atau ratusan tahun untuk itu. Karena itu, plastik tidak bisa dibuang dengan mudah/sembarangan karena alasan di atas. Kalau dibakar? Plastik tidak dapat dibakar karena berbahaya, tidak saja bagi kesehatan manusia, melainkan juga pada alam dan lingkungan kita. Repot, bukan?

Saya, bahkan kita semua, tentu sulit melepaskan diri dari plastik. Ia mengikuti dan menjebak semua sisi kehidupan kita. Barangkali, kita hanya bisa berusaha untuk mengurangi pemakaian plastik dengan nawaitu mengurangi bahaya-bahaya sejenis itu.

Ini kisahnya:

Suatu saat, saya masuk ke sebuah toko swalayan di Pamekasan. Saya membeli pengharum ruangan. Kasir membungkusnya dengan tas plastik (yang tidak berketerangan, bahwa plastik tersebut dapat diurai oleh tanah dan aman bagi lingukugan / “plastik ramah lingkungan”). Saya langsung berpikir.  

“Terima kasih plastiknya,” kata saya sembari melambaikan tangan kanan tanda menolak. “Saya bisa membawa belanjaan ini dengan tangan.”
“Oh, ini garits, Pak!” balas si kasir, datar tanpa senyuman.
“Iya, saya tahu itu. Biar saya bawa ini dengan tangan saya saja.”
Penjaga laci duit itu menjawab datar.
“Barang-barang yang dibeli di toko ini harus dibungkus dengan tas pasltik ini, Pak.”

Akhirnya, saya menyerah. Saya kalah. Kasir itu mengoper barang belanjaanku ke tukang bungkus yang berdiri di belakangnya. Si tukang bungkus ini kemudian menyerahkannya kepada saya. Nah, pada saat itu, saya ambil barang belanjaaku itu dan saya kembalikan tas plastik itu kepada si tukang bungkus sambil berkata.

“Ini, buat kamO!”

10 Desember 2010

Permohonan Tulisan

Akhir tahun 2004, esai pertama saya dimuat di koran Jawa Pos, “Benang Kusut Industri Perbukuan”. Dengan adanya publikasi ini, saya senang sekali mengingat ini merupakan esai pertama yang saya tulis, sekaligus yang pertama dimuat di media massa sebesar Jawa Pos.

Cerita demi cerita, beberapa bulan sesudahnya, saya mendapatkan sebuah panggilan dari nomor PSTN/bukan seluler. Awalnya, saya menduga itu dari nomor kantor. Panggilan ke ponsel yang selama ini saya terima umumnya berkepala 031 (Surabaya) atau 021 (Jakarta). Ya, biasa, urusan buku atau honor. Nah, kali ini kepala 24 (Semarang). Sontak saya berpikir, apakah akhir-akhir ini saya pernah mempublikasikan karya saya di media area Semarang/Jateng? Rasanya tidak. Panggilan itu langsung membuat saya bangga seketika.

“Apa ini benar dengan Bapak M. Faizi?” suara dari seberang
“Iya, betul.” Saya membetulkan posisi ponsel agar mike-nya lebih pas ke telinga
“Begini, Pak. Kami dari redaksi majalah ingin meminta Bapak menulis untuk majalah kami.”
“Oh, ya?” saya sumringah, lalu melanjutkan “Puisi, prosa, atau apa?”
“Terserah Bapak.” Suara dari seberang masih datar-datar saja.
‘Lho? Kok bisa begitu? Eh, memang ini dari redaksi majalah apa?”

“Bobo” katanya, masih dengan intonasi yang sama dan langsung disusul dengan tawa. Ya, beberapa detik setelah itu, barulah saya sadar, bahwa saya dikerjaian oleh teman saya sendiri yang sekarang telah berpulang ke rahmatullah. Allahummaghfir lahu.

01 Desember 2010

Menanam untuk Orang Lain

Suatu saat, beberapa bulan sebelum ayah saya wafat, beliau menanam pohon klengkeng di depan kamar. Klengkeng ini kami peroleh dari seorang teman. Kami merawat klengkeng ini dengan sangat hait-hati. Maklum, tanah di tempat saya kurang subur. Tanahnya pejal berbatu-batu. Pasti, klengkeng ini akan tumbuh secara lambat jika ditanam di sini, begitu pikir saya. 


Suatu hari, dua tahun kemudian, sebuah mobil tamu menabraknya saat berjalan mundur. Peristiwa itu terjadi ketika saya tidak sedang di rumah. Sungguh saya sangat geram melihat kejadian ini. Saya memaki-maki sendiri.

Seminggu yang lalu, saya menanam pohon klengkeng yang baru. Ya, tiba-tiba saja saya ingat percakapan dengan kakek ketika saya masih belia. Dulu sekali, kakek hendak menanam pohon asam di depan madrasah. “Untuk apa kakek menanam pohon asam itu” tanya saya. Saya berpikir ketika itu, untuk apa kakek menama pohon asam sementara dia – dalam hitungan saya – nyaris tak mungkin bisa mencicipi buah asamnya, tidak akan merasakan nikmatnya berteduh di bawah rimbun daunnya mengingat usia beliau sudah begitu lanjut, begitu pikir saya.

“Untuk kalian,” jawab kakek ketika itu. Nah, demikian pula, saya akhirnya berkesimpulan, menanam pohon, apalagi klengkeng yang butuh puluhan tahun agar besar dan rimbun, tentu tidak harus untuk kita ambil manfaat secara langsung untuk diri sendiri, melainkan untuk anak cucu kita. “Menanam untuk orang lain”, mungkin begitu kira-kira

30 Oktober 2010

Akhlak Lalu Lintas

Sungguh menyebalkan.

Pengalaman naik mobil di malam hari selama beberapa malam ini, secara berturut-turut, membuat saya tidak mamapu menyembunyikan kekesalan ini. Jika dihitung, memang saya belum sempat menghitung, sepanjang perjalanan kurang lebih 30 kilometeran pergi dan pulang ke rumah, kayaknya kok saya lebih banyak menjumpai sepeda motor dengan lampu belakang yang mati (tidak menyala) daripada yang menyala. Yang bikin tambah kesal karena dari tampilan sipengendara, mereka itu kelihatannya orang yang terpelajar, berpakaian rapi, bukan orang gila, atau anak-anak di bawah umur. Namun, seolah tanpa merasa bersalah, mereka berjalan di jalan raya tanpa lampu belakang.

Kiranya perlu disampaikan, bahwa pelajran akhlak di sekolah-sekolah itu kini sudah saatnya dikembangkan, mencakup sopan-santun di jalan raya. Ya, akhlak itu hendaknya tidak saja selalu diidentifikasi pada rasa hormat pada yang lebih tua, pada guru, pada orangtua, melainkan juga tidak belok mendadak, tidak membiarkan lampu belakang/lampu remnya mati, dan sembarangan ketika menyeberang.

Semoga kita tidak menjadi manusia yang menyebalkan!

10 Oktober 2010

Disalip Sepeda Angin

Dalam sebuah perjalanan ke Situbondo, di ruas Jalan Probolinggo – Paiton, entah di mana tepatnya, kendaraanku terjepit di antara truk dan mobil-mobil lain. Tiba-tiba, Hasan, salah seorang penumpangku, berteriak, “Kak, Kak, lihat. Kamu disalip!”

Mendengar ucapannya, kontan aku melirik ke spion kanan. Tidak ada kendaraan apa pun yang ngeblong dari arah belakang.
“Mana?” tanyaku.
“Itu, lihat ke kiri!”

Betul. Setelah kulihat, ternyata yang nyalip adalah sepeda kayuh yang dipedal sangat cepat. Mereka adalah segerombolan orang, jika tak salah ada tiga orang, yang baru pulang dari sawah dengan sepeda angin. Rupanya, mereka sedang balapan. Ini adalah pengalamanku yang pertama kali; naik mobil disalip sepdan angin. Aku baru bisa mendahuluinya kembali setelah menyalipnya sekaligus menyalip truk di depan. Saat itu, kulihat speedometer menunjukkan angka 60 KM/jam.

03 Oktober 2010

Hidangan Prasmanan

Dalam sebuah pesta walimah, tuan rumah dibikin malu alang-kepalang karena ternyata hidangan makan habis sebelum semua undangan menikmatinya. Para tamu berdatangan. Mereka langsung dipersilakan masuk menuju ke tempat yang telah disediakan.

Nah, beberapa kelompok tamu yang datang terlambat dan tidak mendapatkan sajian, begitu melihat sebuah meja dengan makanan belum tersentuh, mereka menuju ke sana. Makanan itu belum ada yang menikmatinya. Hal itu kelihatan dari tudung koran yang menutupnya. Padahal, di meja sebelah, prasmanan telah ludes. Tetapi, manakala mereka yang datang terlambat itu hendak membuka tudung, pramusaji datang dan melarangnya karena hidangan itu telah dipersiapkan untuk bhisan (besan) yang belum datang.

Barusan, saya menghadiri pesta pernikahan serupa di PP Al-Amien Prenduan. Memang, di sana saya tidak melihat undangan yang kecewa seperti kisah di atas. Hanya seliweran pelayan yang kewalahan karena undangan begitu banyak, ribuan orang. Namun, saya melihat, seorang tamu mengambil lauk lebih dari batas wajar sebagai manusia: tiga kerat daging semur dan entah lauk-pauk apalagi untuk sepiring nasinya. Nah, gaya makan macam inilah yang sering bikin kacau hidangan prasmanan karena dianggap bisa mengambil “semau gue banget sekali”.

Ada yang tahu, sebenarnya, seperti apakah aturan main hidangan prasmanan?

06 September 2010

Iseng dalam Kesimpulan

Beberapa kali saya memperhatikan, saat di Jogja dulu, kalau saya naik sepeda motor di jalan raya, dan pada jam yang sama ada pertandingan tinju dengan tokoh Mike Tyson, jalanan mendadak sepi. Sedikit kendaraan yang berseliweran. Kesimpulan: pertandingan tinju Mike Tyson banyak diminati masyarakat, sehingga mereka lebih senang tinggal di kamar untuk menonton dan menunda rencan kepergiannya.

Pada hari Ahad siang tanggal 19 Ramdhan lalu (24 Agustus 2010), saya pergi ke Pamekasan bersama paman untuk menghadiri sebuah acara. Kami berangkat sekitar jam 2 siang dari rumah. Saya duduk di belakang kemudi mobil sambil memperhatikan arus lalu lintas di jalan; sedikit sekali, dalam hitungan saya, mobil angkutan umum (orang Madura menyebutnya “taksi”) yang saya jumpai di sepanjang ruas jalan raya Prenduan hingga Pameksan. Kesimpulan: kebanyakan masyarakat Madura itu taat berpuasa.

Lalu, Sabtu lalu, tanggal 25 Ramadhan (4 September 2010), saya juga pergi ke Bangkalan bersama rekan-rekan. Kali itu, kami berangkat lebih awal, yakni sekitar jam 1 siang. Saya juga memperhatikan keadaan yang sama; arus lalau lintas di jalan raya yang sepi. Malamnya, habis shalat Isya’ di Kwanyar, kami langsung menuju Kemayoran, sebuah daerah di barat kota Bangkalan. Sepanjang jalan dari Kwanyar ke Bangkalan, yang kami tempuh kira-kira hampir 30 menitan (perkiraan masa taraweh), saya juga melihat situasi jalan yang sama. Sedikit sekali berpapasan dengan kendaraan. Kesimpulan: masyarakat Madura rajin shalat taraweh

KESIMPULAN DARI SEMUA KESIMPULAN:
ini kormeddal, bukan peneltian ilmiyah. Kekuatannya ada pada keisengannya, bukan pada ke-akurat-an datanya.

27 Agustus 2010

Pertanyaan Berbahaya

Ada kisah sedih yang baru saja saya terima dari seseorang. Adalah seorang India yang tinggal dan bekerja di Malaysia yang tega membunuh anak kecil seusia tiga tahun, di sebuah taman mainan. Ia melakukan itu atas alasan yang sepele bagi umum, tapi mendasar bagi dirinya.

Begini kisahnya.

Sebutlah lelaki itu Akhan dan si korban bernama Oci (Dua nama ini rekaan saya). Akhan hidup bersama seorang istri. Sepuluh tahun pernikahnnya dengan sang istri belum juga mendapat karunia anak. Sementara tetangga sebelahnya (karena ia tinggal di sebuah pemukiman, anggaplah itu rumah susun) adalah sepasang suami-istri yang baru menikah dan telah memiliki seorang putra yang lucu, Oci.

Setiap hari, dari balik jendela, atau dari balik dinding kamarnya, Akhan melihat pasangan suami-istri tetangga sebelah itu bermain-main riang dengan putranya, si Oci. Manja sekali kedengarannya. Acap kali Akhan mendengar anak kecil itu cekikian, tertawa tergeli-geli. Di kala Akhan murung karena dituduh mandul, tetangga sebelah justru bahagia bersama putranya; suatu impian yang tidak didapatkan Akhan. Ironis, bukan?

Keadaan ini berlangsung selama berbulan-bulan. Rupanya, tanpa sepengetahuan siapa pun, hati Akhan makin sakit terasa teriris. Hingga pada suatu hari, ia membujuk Oci ke sebuah tempat mainan. Ajakan itu bukanlah untuk memanjakannya, melainkan, sungguh tragis, justru untuk menghabisi nyawanya.

Kisah ini, dari sudut pandang berbeda, mirip kisah Mark Chapman yang tergila-gila pada sang idola, John Lennon. Karena tak tahan atas bayang-bayang si John yang begitu mengusik hari-harinya, Chapman nekat. Ia menembak mati John. Akhan dan Chapman sama-sama mengalami gangguan kecemburuan atas sebuah impian yang tidak tergapai.

Pergolakan batin seseorang yang tidak segera (ulang: “segera”) memiliki keturunan semacam itu juga saya alami selama beberapa tahun. Itulah mengapa, ketika berhadapan dengan seseorang yang baru saya kenal, atau teman yang tidak saya ketahui kabar terakhirnya kecuali ketika dia masih bujangan, saya tidak pernah mengajukan pertanyaan seperti “sudah punya putra berapa?”, dan apalagi guyon menyakitkan seperti “masa sudah lima tahun kok masih belum punya anak?” dan sejenisnya. Karena bagi mereka yang belum (diulang: "belum") dianugerahi keturunan, ucapan macam itu lebih tampak sebagai tamparan dan caci maki daripada sebuah pertanyaan biasa.

Ya Allah, sesungguhnya, semua itu adalah rahasia-Mu. Tanpa kehendak-Mu pula, tak ada kekuatan semena-mena apa pun yang dapat membuatnya menjadi nyata.

20 Agustus 2010

Hadrah ala Ahmad bin Ta'lab

Di Madura, khususnya di daerah saya (Sumenep), pembacaan shalawat nabi pada acara-acara tertentu selalu diiringi dengan pemukulan hadrah. Pemukulan hadrah biasanya dilakukan setelah pembacaan “shalawat bil julus” (dibaca sambil duduk, karena saat pemukulan hadrah semua hadirin berdiri). Hadrah sangat utama pada acara penting, seperti walimatul ursy, maulid nabi, dan molang are (selamatan anak yang baru lahir).

Nah, jika Anda penggemar hadrah, khususnya genre hadrah ala Sumenep-an, maka ia akan mengacu kepada sebuah nama yang sangat populer, yaitu Yik Ahmad bin Ta’lab. Beliau msayhur sebagai tokoh hadrah/rebana tidak saja di daerahnya (Sumenep), melainkan hingga ke beberapa tempat di daerah tapal kuda, yaitu Madura dan daerah pesisir Jawa bagian timur.

Hingga saat ini, hadrah masih populer di masyarakat. Namun, gempuran industri musik pop yang tak terelakkan telah menciptakan pergeseran selera pendengar dan pemain. Kesenian ini kiranya mulai menjauh dari leluri leluhurnya. Terbukti, kini, mudah ditemukan kaset dan cakram gambar bergerak yang berisikan “hadrah koplo”. Jika didengar sepintas, hadrah jenis ini lebih mirip dangdut yang diiringi hadrah dan bukan sebaliknya.

Sedikit di antara yang banyak, tersebutlah Mushawwir. Ia merupakan salah satu didikan Ahmad bin Ta’lab yang tetap berpegang teguh untuk tetap memainkan hadrah seperti yang ia dapat dari gurunya itu. Tentu, perubahan dan modifikasi, sedikit banyak pasti ia lakukan, tapi perubahan yang tidaklah mendasar. Video berikut ini menunjukan penampilan Mushawwir di langgar Al-Furqan, Sabajarin, Guluk-Guluk, Sumenep. Video diambil 8 Maret 2010.



Jika Anda berminat untuk menonton video ini sampai selesai, silakan tonton versi aslinya di YouTube

13 Agustus 2010

Ibadah yang Tenang

Suara tadarus Alquran di bulan suci terdengar di mana-mana. Pengeras suara, di bulan Ramadhan ini, berbunyi tidak saja pada jam-jam azan. Sehabis tarawih, umumnya, suara tadarus Alquran terdengar di mana-mana, ke mana-mana. Bahkan, tak jarang kutemukan, di tempat-tempat yang jauh, suara itu terus berkumandang sampai larut malam, bahkan hingga menjelang saat bersahur.

Di mushalla rumahku, hal semacam ini juga berlangsung selama bertahun-tahun. Meskipun yang mendaras Alquran tidak banyak, namun dari jumlah yang sedikit itu, yang patut diacungi jempol adalah kesiapan mereka untuk duduk bertahan di depan kitab suci Alquran selama berjam-jam.

Namun, sejak tahun yang lalu, atas permintaan beberapa pini sepuh, lantunan orang yang mendaras Alquran akhirnya tidak lagi dikumandangkan melalui loud speaker yang umumnya digantung di tiang penyangga khusus, atau menara. Alasannya, suara yang keras bukan tidak mungkin akan mengganggu ketengangan warga sekitar, apalagi jika salah seorang tetangga mushalla ada yang sakit dan butuh ketenangan.

10 Agustus 2010

Tabrakan Berantai

Kisah ini dituturkan oleh salah seorang korban yang terlibat dalam tabrakan berantai seperti kisah di bawah ini:

Ada seorang pengemudi sepeda motor. Ia menggunting jalan, menyeberang, persis hanya beberapa meter di depan sebuah bus yang melaju kencang. Pengemudi bus kaget. Ia langsung melakukan pengereman. Sepeda motor terselamatkan dari lindasan roda-rodanya.

Tetapi…

Di belakang bus ada sebuah Panther. Tahu kalau bus di depan berhenti mendadak, si pengemudi Panther juga melakukan tindakan serupa. (sementara: selamat!) Namun, di belakang Panther ada sebuah Suzuki Carry yang menyodok pintu belakangnya. Akhirnya, Panther terdorong beberapa meter. Ekornya penyok dan moncongnya mencium buritan bus; hancur. Carry tak mampu melakukan pengereman mendadak atau karena ia juga kena sodok oleh sebuah mobil pick up dari belakang yang menghantam bak terbukanya.

Hemm… Bus; rusak bumpernya; Panther; harus memperbaiki moncong dan ekornya; Carry; rusak bagian depan dan belakangnya; sementara pick up, yang terakhir, rusak bagian depannya saja. Untunglah semua selamat. Tak ada korban jiwa. Yang ada hanyalah korban dana tak terduga, kecuali sepeda motor yang tidak terluka dan tidak apa-apa.

Kesimpulannya?

22 Juli 2010

Cinta dan Benci ala Kadarnya

Beberapa bulan yang lalu, saya bertamu ke ndalem salah seorang kiai untuk suatu keperluan. Usianya, dalam taksiran saya, barangkali 65 tahun. Kesehatannya sudah mulai menurun, tetapi beliau tetap menemani para tetamu dengan kopi dan rokok.

Singkat cerita, percakapan pun akhirnya tiba pada pertanyaan saya, mengapa beliau masih merokok di usia yang relatif tua itu. Apakah mengganggu kesehatan atau tidak, demikian intinya. Beliau justru menjawab pertanyaan saya ini dengan sebuah cerita dalam bentuk percakapan:

Dokter Fulan: sudahlah Kiai, berhentilah merokok. Apa manfaat rokok? Tidak ada sama sekali. Rasul tidak merokok, nabi yang lain tidak merokok. Anda kan buang-buang uang. Berhentilah merokok agar Bapak Kiai lebih sehat dan bisa lebih lama melayani ummat. Merokok itu pekerjaan sia-sia, dan pekerjaan sia-sia itu hanya dikerjakan oleh setan. Sudah ya, berhenti merokok saja. Merokok adalah penyebab utama kematian, lho.
Kiai Fulan: Ya, saya mengerti, Pak. Tapi, janganlah Anda mengecam keras begitu. Jangan terlalu, Pak. Coba ajak saya berhenti merokok dengan cara yang tidak mengancam, yang tidak “nakut-nakuti”. Urusan syubhat Anda tegas, tapi urusan yang jelas-jelas maksiat Anda plin-plan.
Saya: itu, dokter Fulan dokter mana, ya, Pak Kiai?
Kiai Fulan: di Sumenep. Dia suka sekali menakut-nakuti saya (sambil tersenyum lebar)
Saya: Tetapi, apa Panjennengan masih sering periksa kesehatan ke dokter fulan itu?
Kiai Fulan: terakhir, tiga bulan yang lalu saya diundang ke rumahnya untuk menghadiri acara peringatan 1000 hari wafatnya.


Kesimpulan saya bukanlah soal rokok yang berbahaya atau tidak bagi kesehatan, melainkan pelajaran tentang cara menegur dan bagaimana kita mencintai/membenci seseorang ala kadarnya saja. Kurang lebihnya mohon maaf. Sekian dan terima kasih.

19 Juli 2010

Spekulasi Tingkat Tinggi

Tadi malam, ada seseorang yang datang dan mengeluh. Katanya, sudah memasukkan uang 10 juta untuk dapat seragam dinas dan bekerja setiap hari. Tiap bulan ia ingin mendapat gaji. Itu intinya. Tapi, katanya kemudian, sudah berbulan-bulan tak ada kabar beritanya.

“Mengapa tidak kaubuat modal saja. Bukankah uang 10 juta itu kan lumayan besar untuk modal usaha?” saranku.
“Untuk modal usaha? Tentu saya tidak punya uang sebanyak 10 juta.”
“Lah, buktinya kamu bisa menyerahkannya buat uang pelicin itu?”
“Nah, itulah. Itu saya dapatkan tersebut dari hasil pinjaman.”

Dug. Aku terkejut. Ternyata, orang ini bukan saja culun, melainkan juga berani melakukan spekulasi tingkat tinggi. Aku berpikir, mengapa agama melarang spekulasi tingkat tinggi, seperti judi? Ya, seperti halnya spekulasi menyalip di tikungan, siang boloong, pada pandangan tidak bebas, dan bukan pula pada saat balapan di sirkuit.

Spekulasi tingkat tinggi memang sangat berbahaya.

29 Juni 2010

Parfum Kamar

“Hah?” Perempuan itu membelalakkan matanya “Ini kamarmu, San?”

 

Hasan tersipu. Ia tahu, Icha tidak akan menyangka kalau ada banyak tumpukan cucian yang terserak di sudut-sudut kamarnya, berkebalikan dengan dandanan Hasan yang setiap hari tampil rapi ke kampus. Hari itu adalah hari nahas bagi Hasan. Bagaimana tidak, Hasan yang selama ini mencari-cari perhatian Icha yang ditaksirnya, justru kena batunya di kontrakan dia sendiri, pada suatu sore yang tidak terduga.

 

Sore itu, Icha datang hanya untuk meminjam buku catatan. Ia tidak minum teh, tidak mengobrol, tidak pula duduk. Icha hanya berdiri, menyampaikan keinginan untuk meminjam buku kepada Hasan, dan setelah itu pulang. Nah, karena itulah, Hasan melakukan antisipasi. Ia yakin, tak lama lagi, barangklai esoknya atau paling telat lusa, Icha akan kembali lagi untuk mengembalikan buku catatan yang telah dipinjamnya. Disimpannya tumpukan bajunya itu. Buku-buku dikembalikan ke rak. Perabotan yang berserak dirapikannya. Dan agar Icha lebih terkesan jika ia datang, Hasan memasang kapur barus gantung dan bola kapur barus di sudut kamarnya agar wanginya lebih tahan dan menyemerbak.

 

Setelah Icha datang, Hasan pun senang. Dan betul sekali, saat Icha datang untuk mengembalikan buku catatan, Icha pun berkomentar.

 

“Hah?” Icha membelalakkan kedua bola matanya yang bulat “Ini kamarmu, San? Kok wanginya berkesan toilet?”

 

(Ini kisah nyata, namun nama bukan nama asli)

25 Juni 2010

Bisa Beli Sepeda Motor, Tak Mampu Beli Bohlam

Sehabis isya, tadi, aku berangkat menuju kediaman almarhum Sa'di di Bataal. Malam ini adalah malam ketujuh hari wafatnya. Dengan mengendarai sepeda motor dinasku, Yamaha L2 Super yang selalu susah dinyalakan kalau lama parkir, aku meluncur di jalan beraspal yang gelap gulita karena tak ada lampu penerangan jalan serta bohlam lampu sepeda motorku pun yang juga usang.

Saat gigi perseneling telah mentok, di jalan menurun rumah Bu' Ga, tiba-tiba lampu depan motor mati. Untunglah, tak jauh dari TKP, kulihat ada dua motor sedang diparkir di rumah Pak Zaini. Serta merta aku memanggil salam dan menyampaikan maksud keinginan.

"Biar Sampeyan saya antar," kata Wafiq, seorang remaja likuran tahun.
Sambil memutar sepeda motornya dari halaman ke jalan beraspal, aku berkata, "Sebetulnya aku mau ke Bataal. Tapi, mendadak lampu depan sepeda motorku mati. Malu aku jalan malam pakai sepeda motor mati lampu meskipun malam ini bulan bersinar terang.."
Wafiq tersenyum, hampir tertawa.

Ayunan starter diterjang. Yamaha Force One itupun menderum. Aku membonceng. Motor dijalankan. Tapi, ternyata, sepeda motor ini pun juga kacau. Lampu depan juga lampu belakangnya sama-sama tak menyala.

Dalam hati aku berkata, "kuat beli motor, kuat isi bensin, tapi tak mampu beli lampu.."
Terima kasih telah mengantarku dalam keadaan sport jantung, meskipun sebentar.

saran: sebaiknya juga baca yang ini

14 Juni 2010

Pilkada Sumenep 2010


Seolah tiba-tiba, puncak pemilu kepala daerah berlangusng hari ini, pagi ini. Tiba-tiba saja pilbub berlangsung. Saya kaget karena sebelumnya tidak ada iring-iringan sepeda motor dengan knlapot meraung-raung di depan rumahku. Tidak ada pick up penuh penumpang yang bejibun dan speaker TOA yang nyaring, menyampaikan aspirasi pendukung untuk calon yang didukung.


Tidak ada. Lapangan dan alun-alun sepi. Jalan juga sepi. Ke mana hiruk pikuk itu sembunyi?

09 Juni 2010

Salah Tarif Listrik

Beberapa waktu yang lalu, pihak PLN mencari sebuah rumah milik Pak Emmus di daerah Ro'koro', desa Taro'an, kecamatan Tlanakan, kabupaten Pamekasan. Penyelidikan ini didasarkan pada laporan seseorang (namanya dirahasiakan atas alasan keamanan) kepada pihak PLN, bahwa Pak Emmus telah melakukan pemalsuan data kelas pembayaran listrik. Ia membayar murah karena rumahnya dikelaskan "tipe S" alias sosial, sebagai musolla / tempat ibadah. Padahal, dia merupakan orang biasa, bukan takmir, bukan pula pengelola yayasan.

Tiba di TKP, pihak PLN bersama petugas yang lain, langsung melakukan interogasi:

"Sampeyan kan penduduk biasa, seharusnya listriknya pakai tipe R, Pak. Ndak boleh begini caranya."
Pak Emmus berkelit, "Saya ndak tau apa-apa, Pak. Waktu daftar dulu, ya, saya cuma setor KTP dan pihak bapak telah mencatatnya. Yang salah saya apa salah yang mencatat, Pak?" Pak Emmus balik bertanya.

"Lha, iya, maksudnya, di atas rekening, atas namanya kok MUSOLLA, tapi kenyataannya Sampeyan pakai untuk pribadi. Emang ada di mana musala-nya?" Petugas memutar-mutar matanya, menyelidik keadaan sekitar, tanda curiga.

"Ya, saya ini!" Pak Emmus menepuk-nepuk dadanya.

"Iya ngerti. Maksud kami, Sampeyan bangun musala itu di sebelah mana? Biar kami mengecek meterannya.."

"Lah, bapak ini. Nama saya Musolla, Pak!" jawab Pak Emmus muwantab yang seketika itu pula membuat nyali petugas PLN tersebut lemas bagai kehabisan tegangan, ngedrop tiada tara.

Mangkanya...

(Catatan: Kisah nyata ini saya dapatkan dari Kiai Umar Faruk (Soklancar); dari Kiai Zainuddin (Taro'an); dan beliau dari si pelaku cerita; shahih)

31 Mei 2010

Gairah Kejujuran

Beberapa waktu yang lalu, Pak Sulim bersama istrinya berkunjung ke rumah adik iparnya. Letak rumah si ipar ini tidak begitu jauh dari tempat tinggal Pak Sulim, tetapi bukan berarti dapat dijangkau dengan berjalan kaki. Karenanya, di siang hari Rabu yang cerah itu, Pak Sulim sangat berbahagia karena bisa menaiki sepeda motornya yang baru dibelinya. Sepeda motor baru ini dibelinya dengan harga murah karena bodong-gelap alias superdurno (tidak ada STNKB dan BPKB).


Sepulang dari rumah si ipar, di suatu pertigaan, Pak Sulim kaget alang-kepalang karena tanpa diduganya, saat ia melintasi jalan itu, dari balik batang pohon asam yang besar, tiba-tiba muncul seorang petugas berseragam coklat, menghentikan perjalanannya. Pak Sulim tidak menyangka sama sekali karena ternyata petugas ini memarkir kendaraan berplat hitam-kuningnya itu di balik rerimbun pepohonan yang terhalang dari pandangan.


“Selamat siang, Pak!”

Pak Sulim gemetar. Ia tidak menjawab.

“Bisa lihat STNK-nya?” tanya si petugas, mendekat, meminta Pak Sulim mengeluarkan Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor alias STNKB. Karena Pak Sulim masih ketakutan dan diam saja, istri Pak Sulimlah yang menjawab.

“Maaf, Pak. Motor kami ini baru dibeli, itupun dengan model cicilan. Kata si penjual, STNK-nya masih akan dibuatkan.”

“Mau dibuatkan?” petugas mengernyitkan kening.

Disangkanya si petugas mulai termakan permohonan ampun dan rengekannya, istri Pak Sulim justru semakin bergairah menjelaskan identitas sepeda motornya itu apa adanya.

“Ya, Pak. Soalnya, motor ini tidak ada STNK-nya..”

27 Mei 2010

Warna Hijau dalam Bahasa Madura

-->
Salah satu tekanan yang merendahkan (inferior) terhadap orang Madura adalah pernyataan bahwa Bahasa Madura tidak mengenal kosa kata yang sepadan dengan “hijau”. Dalam bahasa ini, hijau ditulis/dilafalkan “bhiru”.

Meskipun dalam Bahasa Madura ada kosa kata ejuh (ijo), namun umumnya selalu digandengkan dengan kata yang lain dan membentuk frase, misalnya “nyior eju” (kelapa [berwarna] hijau), “kacang eju” (kacang ijo), dan sebagainya. Penggunaannya pun sangat terbatas serta tidak lazim jika digunakan secara mandiri (eju).
Ada alasan diajukan: “bhiru” (dibaca tebal dengan “h”) yang dalam Bahasa Madura berarti hijau tidaklah sama dengan “biru” (dalam Bahasa Indonesia). Secara kebetulan saja pengucapannya hampir sama tetapi maknanaya berbeda. Hal ini mirip dengan pengucapan arah mata angin “daya” yang dalam Bahasa Indonesia diartikan dengan “arah di antara dua mata angin”, seperti “barat daya” untuk menunjukkan “arah mata angin antara barat dan selatan”. Kosa kata “daya” ini menjadi berbeda pengertiannya saat digunakan sebagai ganti dari “daja/dhaja” yang artinya “utara” sehingga “barat daya” sering ditanggapi sebagai “arah mata angin antara barat dan utara”. Apakah tidak sebaiknya “arah mata angin antara barat dan utara” ini tetap ditulis dengan “barat daja” atau “bara’ dhaja” saja daripada “barat daya”? Entahlah, ini hanya pertanyaan pribadi yang barangkali sudah pernah didiskusikan di tempat lain, dan barangkali pula, pakar Bahasa Madura dapat menjelaskannya lebih baik.
Kembali ke masalah “bhiru”: dengan merujuk pada beberapa contoh, saya beranggapan sementara, “bhiru” dalam Bahasa Madura, baik ditulis bhiru, biru, atau bhiruh, memiliki makna ganda: hijau dan biru. Contoh “bhiru” (dengan arti hijau), antara lain, “bhiru daun” (hijau daun), “bhiru butol” (hijau seperti botol [kecap/Sprite]); “bhiru” (dengan arti biru), antara lain, “bhiru langnge’” (biru seperti warna langit), dan seterusnya.
Nah, ini contohnya. Di dalam STNKB kendaraan di bawah ini, “warna KB”-nya tertera “biru botol metalic”. Oh, ya, warna kendaraan di bawah ini hijau atau biru?

19 Mei 2010

Ikhlas yang Dongkol

“Ya, sudah, sabar. Ikhlaskan saja barang yang sudah hilang itu. Semoga kamu dapat ganti yang lebih bagus..”

 

Sering mendengar ungkapan seperti ini, meskipun mungkin beda redaksinya? Ya, ini ungkapan pelipur lara untuk mereka yang baru kehilangan ponsel atau kecopetan dompet. Doanya juga sangat bagus.

Tapi, yang aneh adalah “ikhlaskan”. Mungkinkah ikhlas akan menyusul dongkol dan kesal karena kehilangan yang tidak dikehendaki?

 

Sejatinya, ikhlas itu lahir pada saat “memberi”, bukan setelah kehilangan.

16 Mei 2010

Kacang Seribu

“Kacang, kacang, kacang; seribu, seribu, seribu..” Pedagang asongan itu mendekat.

“Kacang, kacang.. Murah, Pak. Daripada nanem sendiri, masih lama panennya. Kacang seribu..”

Pedagang itu berlalu dari sisiku.

 

14 Mei 2010

Salah Tuduh

Berhari-hari, di serambi rumahku, selalu semerbak bau tak sedap. Ya, seperti bau tahi kucing, atau mungkin tahi curut. Aku cari ke mana-mana, tidak diketemukan juga.

 

Puncaknya, tadi malam. Saat aku berada di langgar kayu, habis Maghrib, bau semerbak tak sedap itu kembali mengganggu. Ternyata, eh, ternyata. Sumber bau adalah sandalku sendiri, sandal karet 10.000-an, merek Eldo**. Selama ini, yang selalu menjadi “kambing hitam” justru “kucing”, bukan kambing.

 

Pantesan, awal-awalnya, jika aku masuk mobil, bau pindah ke dalam kabin. Kalau aku duduk di teras, yang bau pindah ke teras. Rupanya… Ya, ternyata, sumbernya adalah sandal karet bikinan manusia. Entahlah, sandal ini terbikin dari karet bekas apa.

 

 

05 Mei 2010

Rezeki Kesabaran

 

Kiai Muzanni: seorang lelaki yang wafat di usia 80 tahunan, di pangkuan kemenakannya. Melalui istrinya, dulu ia telah pernah mempunyai 12 orang anak dari satu istri saja. Dan anak-anaknya itu berguguran, satu demi satu; ada yang masih balita, tetapi ada pula yang telah perjaka dan perawan. Ujung cerita, semuanya habis sama sekali.

 

Jika itu bagian “rezeki paten” dari Tuhan, manusia tak bisa berbuat apa-apa. Saya tak habis pikir, betapa hebat rezeki kesabarannya.

.

25 April 2010

Jaringan Sibuk

Menelepon gak bisa-bisa, padahal ini bukan malam Minggu. Kesal juga akhirnya, meskipun saya tahu, dengan slogan tarip termurah, operator selulerku ini berperangai jaringan sibuk. Tapi, itu dulu, sekarang enggak lagi, atau setidaknya, mendingan lah.


Lama-kelamaan, iseng-iseng saya panggil *sekian-sekian-sekian#. Ternyata, sisa pulsa hanya Rp 819,- saja. Yah, wajar saja enggak bisa menelepon. "Karena itu, Pak Operator, saya minta maaf. Saya telah shu’ud down kepada Sampeyan! Habis, akhlak Sampeyan dulu-dulunya sok begitu sih."


* * *


:: citra buruk yang berlangsung dalam waktu lama sulit diperbaiki dalam waktu yang singkat; selalu berbuat baik dalam waktu yang lama, bisa dihancurkan citra buruk hanya dalam beberapa detik

20 April 2010

Tidur 989 Kilometer


Kemarin, saya merasakan sensasi istirahat yang benar-benar nikmat setelah beberapa hari ini tubuhku terasa capai-capai karena keseringan lembur: tidur jam 5 pagi, bangun jam 10 lewat. Lalu, lanjut lagi: tidur jam 1.30 siang, bangun jam 4 sore; bayi gede deh.


Sensasi ini menautkan ingatanku pada suatu siang, beberapa tahun yang lalu. Saat itu, dulu ketika anggota keluarga besarku masih lengkap, saya mempunyai pengalaman tidur siang yang begitu inspiratif, impulsif, rekreatif, dan if-if yang lain.


Siang itu, saya nawaitu istirahat, berbaring untuk rehat. Sambil mencolokkan charger untuk ngecas ponsel 5110-ku, saya berandai, “Nanti, batere pasti sudah penuh ketika aku bangun,” demikian pikirku. Saya ingat, waktu itu jam 2 siang kurang seperempat ketika saya berbaring. Dalam pikiran, saya bayangkan nanti saya akan bangun jam 4 sore, atau jam 4.30 paling telat (berhubung saya sedang sangat capai). Badan saya telentangkan, mata coba berpejam. Benar, tak butuh waktu lama, pikiran sudah melayang, terjadilah tidur yang sebenar-benar.


* * *


Kaget bukan alang-kepalang ketika saya bangun dan mata menjurus ke arah jam meja, pukul 5:10. "Astaghfirullah, belum shalat ashar,” pikirku spontan. Dengan reaksi cepat dan sigap, saya mengambil air wudhu dan shalat ashar pun dilakukan.


Selesai shalat, dengan pandangan mata cerah dan wajah gemilang, saya membuka pintu, hendak keluar untuk menikmati pemandangan senja yang mulai temaram. Saya melihat seorang santri melenggang keluar biliknya. Di dadanya, saya duga ia sedang mendekap kitab shahih bukhari. “Loh, kok mau ngaji kitab menjelang Maghrib?” batinku sambil mengurungkan niat, sembunyi ke balik pintu. Dan setelah mengusap mata, betul, saya sadar. Ternyata, waktu itu jam 5 pagi, di hari Kamis pagi. Sedangkan cerita pada paragraf pertama yang kutulis di atas berkisah tentang tidurku pada hari Rabu siang.


Astaghfirullah..

Subhanallah..


Andai saya tidur selama itu di atas jok kendaraan yang dipacu rata-rata 80-100 kilometer per jam, insya Allah, jika saya berangkat dari Guluk-Guluk, saat bangun, mungkin saya sudah tiba di tol Cikampek dan siap masuk kota Jakarta.


05 April 2010

Bismania di Guluk-Guluk

Sebelumnya, saya tidak pernah membayangkan ada sekelompok orang datang dari jauh, (dari Jakarta tujuan Sumenep), yang tidak membawa urusan berat/serius, dan pulang kembali ke tempat mereka berasal setelah 2,5 jam duduk sebagai tamu di rumahku.

Sabtu kemarin, 3 April 2010, hal itu benar-benar aku alami. Rekan-rekan dari Bismania Community dan Haryanto Mania Jakarta, bertandang ke rumahku di desa Guluk-Guluk. Mereka menempuh perjalanan sekitar 1000-an kilometer dalam waktu hampir 24 jam. Ini merupakan satu di antara sedikit pengalamanku yang paling berkesan, juga aneh, karena merupakan sebuah “kunjungan kehormatan” dari sebuah komunitas penggemar bis Indonesia kepada seseorang yang rumahnya berada jauh di pelosok, bukan di dekat jalur yang biasa dilalui bis.

tag-nya: salut, aneh, senang.

30 Maret 2010

Arogan = Kormeddal

Tadi malam, habis Isya’…


Membuntuti dua pengendara sepeda motor: setelah melewati satu pengendara sepeda motor, kini giliran pengendara-berboncengan berikutnya. Namun, saat hendak kusalip, tanjakan di depan. Kuurungkan niat karena pandangan tidak bebas. “Setelah tanjakan, baru kudahului,” begitu pikirku.


Saat itu, persneling ada pada gigi terakhir. Laju Titos du Polo lumayan cepat. Dan setelah tanjakan, tiba di jalan datar, barulah aku mendahului pengendara sepeda motor dengan boncengan seorang ibu menggendong bayi dalam dekapannya. Sekilas kulihat begitu. Persis, ketika sedang menyalip, tiba-tiba, dari arah depan tampak bayangan: sebuah sepeda motor tanpa lampu. Betapa kaget diriku. Meneruskan menyalip tidak mungkin karena gugup. Kalau aku nekat, aku menjamin, dalam kecepatan segitu, pengendara motor tidak berlampu itu akan terpental beberapa meter dari jalan raya.


Kuinjak pedal rem, mantap dan dalam. Tiba-tiba, terjadilah keanehan itu: menjelang beberapa depa lagi sepeda motor dan kendaraanku nyaris adu-kambing, tiba-tba si pengendara motor—yang kutahu belakangan Suzuki Satria Merah 2 Tak—menyalakan lampu depananya. Maysa Allah. Ternyata sepeda motor ini ada lampunya. Kok ya belagu-belagu-nya mematikan lampu utama? Cari celaka! Dan hebatnya, saat kami berpapasan, si pengendara sepeda motor malah menarik gagang gasnya dalam-dalam, blayer sebanyak dua-tiga kali, menunjukkan sikap arogannya.


Tiba di rumah:

“Apa yang Anda pikirkan?” Kata Facebook.

“Selama 30-an menit, aku nyaris tetap tidak mempercayai kejadian yang telah aku alami itu. Betul, semkain banyak keanehan di sekelilingku.” Demikian, ingin kutuliskan hal itu, tapi tak jadi karena doa dalam hatiku berbunyi begini: “Semoga, orang-orang arogan seperti itu segera diberi kesadaran, atau penyadaran, oleh Allah Sang Pemilik Bumi dan Seisinya dan Juga Pemilik Jalan Raya dan Lalu Lintasnya, lewat apa pun bentuknya.


12 Februari 2010

Silogisme Penggemar Kopi

Dua tahun yang lewat, aku sakit, terjerembab dan tak bisa bangun selama hampir seminggu. Gara-garanya, di suatu pagi, sebelum berangkat ke kondangan, aku nyeruput kopi plus 3 buah biji klengkeng. Minum kopi di pagi hari itu penglaman biasa, tetapi kopi dengan klengkeng, ini baru luar daripada biasa.


Aku berani melakukan hal ini karena kupikir, sebentar aku juga makan nasi di pesta. Tapi, nyatanya, saat hendak pulang, aku sempoyongan dan betul-betul oleng, terjerangkang saat tiba di rumah, perpal seminggu lamanya.


Nah, seminggu yang lalu, kajadian serupa menimpaku lagi. Tapi ini bukan contoh bagi ungkapan “jatuh di lubang yang sama”. Aku tidak berasa tipes seperti dalam cerita di muka. Kali ini “hanya” kembung dan sakit. Tapi, ini kembung yang betul-betul menyiksa. Otot di sekitar perut terasa linu.


Ceritanya, pagi itu, saudaraku menyuguhkan buah Lei, buah yang aneh di mataku karena ia berwajah durian berwarna nangka. Buah ini, koarnya, merupakan buah hutan Kalimantan yang jarang. Intinya, ini buah istimewa. Kesimpulanku, aku adalah tamu istimewa karena mendapat suguhan istimewa pula.


Kuambil sebiji-dua, sekadar contoh atau perkenalan buat perutku. Dan sialnya, pagi itu minumannya secangkir kopi. Dan di pagi itu pula, aku telah lupa pada kisahku sebagaimana pada paragraf pertama. Walhasil, kembunglah perutku seminggu lamanya.


Lalu, pagi ini aku berkesimpulan, ternyata klengkeng dan buah lei itu berbahaya jika dimakan di waktu pagi, setidaknya menurut perutku.


sumber gambar: http://asamiadji.multiply.com/photos/album/29/buah_lei_lai

30 Januari 2010

Juragan Bis


Unsur apakah dari diriku sehingga dikira juragan bis? Aku cuma numpang nampang saja, kok. Ya, oQelah jika beg...beg...beg...itu.

Orang Dalam


“Orang dalam”, wow, keren sekali frase ini! Sepertinya, semua masalah akan tuntas dan beres dalam waktu sekejap kalau kita memanfaatkan fasilitas “orang dalam” ini. “Orang dalam” bagaikan shortcut atau jalan pintas. Anehnya, saya selalu menjumpai dengan frase ini setiap kali berurusan administrasi di instansi-instansi pemerintahan, dan lebih aneh lagi, banyak sekali teman yang suka berkata, "Sama saya saja. Saya punya 'orang dalam' kok."


Sekarang, “orang dalam” merupakan bagian dari kehidupan yang biasa saja, yang tidak istimewa lagi.

25 Januari 2010

Pendidikan Anti Belok Mendadak


Salah satu tujuanku memasang speaker di mobil bukan saja sekadar untuk menyapa teman yang kebetulan berpapasan, melainkan juga untuk menegur para pengguna jalan yang bertingkah-polah sembarangan. Cara ini rupanya lebih sopan dan “menyentuh hati” daripada boros tekan klakson bertubi-tubi.


Akan tetapi, pengalaman berulang kali melakukan perjalanan ulang-alik Guluk-Guluk-Pamekasan dengan Titos membuat aku berkesimpulan begini:

“Saatnya tertib berlalu lintas masuk kurikulum pendidikan atau perketat prosedur pengambilan SIM dengan betul-betul menguji kecakapan (serta wawasan) calon pengendara kendaraan bermotor.”


Masyarakat harus disadarkan bahwa akhlaqul karimah itu tidak saja sekadar menghormati yang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda, bukan pula sekadar menahan diri dari—meminjam istilah Gus Mus—membuang sampah di telinga orang lain, bukan pula sekadar menyingkirkan batu/aral yang melintang di tengah jalan, melainkan juga tidak belok mendadak, tidak menerobos lampu merah, dan juga tidak parkir seenaknya seolah-olah dunia ini milik dirinya sendiri dan yang lain cuma ngontrak.


Saya membayangkan ada lembaga atau institusi yang mau melakukan penelitian tingkat kecerdasan seseorang (baik kecerdasan spiritual ataupun kecerdasan emosional, dll.) dengan perilaku berkendara dan etiketnya di jalan raya sebagai tolok ukurnya. Betulkah masyarakat sudah tahu bahwa lampu sein itu BUKAN lampu disko dan spion itu BUKAN cermin untuk berdandan?


juga terbit di Titos du Polo

08 Januari 2010

Curanbis

Pencurian selalu terjadi di sekitar kita. Tak pilih lokasi, baik di negera kaya ataupun negera miskin, pencurian sama-sama mungkin terjadi. Di Belanda, banyak orang kemalingan salah satu “anggota tubuh” sepeda ontelnya, di sini banyak orang kehilangan sepeda sekaligus motornya.


Sejauh ini, yang kutahu, pencurian genre “curanmor” biasanya mencakup kasus kehilangan sepeda motor, yang nyaris jadi berita biasa, bahkan derajatnya melorot ke kelas gosip warung kopi saja. Tapi yang ini, curanmor versi gede-nya, versi bokapnya, yaitu curanbis. Rasanya, mana mungkin bisa kupercaya? Kecuali setelah kasus ini, barulah kepercayaan itu terjadi.


Pencuri yang hebat atau pemilik yang enteng? Biasanya, semua orang ramai-ramai menyalahkan satpam, atau sopir, atau lingkungan, dan pada saat yang sama lupa untuk menyalahkan si maling. Curanbis? Ada-ada saja! Dan ternyata memang benar-benar adanya.


Ripley’s Believe it or Not, jangan lupa: CATAT kasus ini!

Entri Populer

Shohibu-kormeddaL

Foto saya

Saya adalah, antara lain: 6310i, R520m, Colt T-120, Bismania, Fairouz, Wadi As Shofi, Van Halen, Puisi, Hard Rock dll

Pengikut

Label

666 (1) Abdul basith Abdus Shamad (1) adi putro (1) adsl (1) Agra Mas (1) air horn (1) akronim (1) Al-Husari (2) alih media (1) Alquran (1) amplop (1) Andes (1) Android (1) anekdot (3) aula asy-syarqawi (1) Bacrit (2) bahasa (5) baju baru (1) baju lebaran (1) Bambang Hertadi Mas (1) banter (1) Basa Madura (1) basabasi (1) batuk (1) bau badan (1) bau ketiak (1) becak. setiakawan (1) belanja ke toko tetangga (1) benci (1) bis (3) bismania (2) BlackBerry (1) Blega (1) blogger (2) bodong (1) bohong (2) bolos (1) bonceng (1) bromhidrosis (1) Buang Air Besar (BAB) (1) buat mp3 (1) budaya (1) buku (2) buruk sangka (2) catatan ramadan (4) celoteh jalanan (1) ceramah (1) chatting (1) chemistry (1) cht (1) Cicada (1) Colt T 120 (1) corona virus (1) Covid 19 (1) cukai (1) curhat (5) defensive driving behavior development (1) dering (1) desibel (2) diary (1) durasi waktu (1) durno (1) ecrane (1) etiket (17) fashion (2) feri (1) fikih jalan raya (1) fikih lalu lintas (1) fiksi (2) filem (1) flu (1) gandol (1) gaya (1) ghasab (1) google (1) guru (2) guyon (1) hadrah (1) handphone (1) Hella (1) hemar air (1) Hiromi Sinya (1) humor (2) ibadah (2) identitas (1) ikhlas (1) indihome (1) inferior (1) jalan raya milik bersama (1) jamu (1) jembatan madura (1) jembatan suramadu (2) jenis pekerjaan (3) jiplak (2) jual beli suara (1) Jujur (3) Jujur Madura (1) jurnalisme (1) jurnalistik (3) KAI (1) kansabuh (1) Karamaian (1) karcis (1) Karina (1) Karma (1) Kartun (1) kebiasaan (5) kecelakaan (2) kehilangan (1) kenangan di pondok (1) Kendaraan (2) kereta api (1) keselamatan (1) khusyuk (1) kisah nyata (7) Kitahara (1) kites (1) klakson (1) klakson telolet (1) kode pos (2) kopdar (2) kopi (1) kormeddal (19) korupsi (2) KPK (1) kuliner (2) L2 Super (2) lainnya (2) laka lantas (1) lakalantas (1) lampu penerangan jalan (1) lampu sein (1) layang-layang (1) lingkungan hidup (3) main-main (1) makan (1) makanan (1) malam (1) mandor (1) Marco (1) masjid (1) Mazda (1) menanam pohon (1) mengeluh (1) menulis (1) mikropon (1) mimesis (1) mirip Syahrini (1) mitos (1) modifikasi (1) money politic (1) Murattal (1) musik (1) nahas (1) napsu (1) narasumber (1) narsis (1) Natuna (1) ngaji (1) niat (1) Nokia (1) nostalgia (2) Orang Madura (1) Paimo (1) pandemi (1) pangapora (1) paragraf induktif (1) parfum (1) partelon (1) pasar (1) pekerjaan idaman (1) pemilu (1) peminta-minta (1) pendidikan (1) pendidikan sebelum menikah (1) penerbit basabasi (1) pengecut (1) penonton (1) penyair (1) penyerobotan (1) Pepatri (1) perceraian (2) Perempuan Berkalung Sorban (1) perja (1) perjodohan (1) pernikahan (1) persahabatan (1) persiapan pernikahan (1) pertemanan (1) pidato (1) plagiasi (2) plastik (1) PLN (1) pola makan (1) poligami (1) polisi (1) politik (1) polusi (1) polusi suara (2) Pondok Pesantren Sidogiri (1) ponsel (2) popok (1) popok ramah lingkungan (1) popok sekali pakai (1) PP Nurul Jadid (1) preparation (1) profesional (1) PT Pos Indonesia (1) puasa (5) publikasi (1) puisi (2) pungli (1) Qiraah (1) rasa memiliki (1) rekaan (1) rempah (1) ringtone (1) rock (1) rokok (1) rokok durno (1) rumah sakit (1) Sakala (1) salah itung (2) salah kode (3) sanad (1) sandal (1) santri (1) sarwah (1) sastra (1) sekolah pranikah (1) senter (1) sepeda (3) sertifikasi guru (1) sertifikasi guru. warung kopi (1) shalat (1) shalat dhuha (1) silaturrahmi (1) siyamang (1) SMS (1) sogok bodoh (1) sopir (1) soto (1) sound system (1) stereotip (1) stigma (1) stopwatch (1) sugesti (1) sulit dapat jodoh (1) Sumber Kencono (1) Sumenep (1) suramadu (1) syaikhona Kholil (1) takhbib (1) taksa (1) tamu (2) Tartil (1) TDL (1) teater (1) teknologi (2) telkomnet@instan (1) tengka (1) tepat waktu (1) teror (3) tertib lalu lintas (28) The Number of The Beast (1) tiru-meniru (1) TOA (2) tolelot (1) Tom and Jerry (2) tradisi (1) tradisi Madura (4) transportasi (1) ustad (1) wabah (1) workshop (1) Yahoo (1) Yamaha L2 Super (1)

Arsip Blog